Anggota TNI-Polri Dalam Politik Praktis, Direktur Imparsial Lihat Celah Hukum
Direktur Imparsial, Al Araf, melihat celah dalam produk hukum Indonesia mengenai keterlibatan anggota TNI - Polri aktif dalam pemilihan umum.
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Nurmulia Rekso Purnomo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Imparsial, Al Araf, melihat celah dalam produk hukum Indonesia mengenai keikut sertaan anggota TNI - Polri aktif dalam politik praktis.
"Harusnya dibuat aturan yang lebih jelas tentang partisipasi anggota TNI-Polri aktif dalam politik," ujarnya kepada wartawan di kantor Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Jakarta Pusat, Selasa (9/1/2018).
Anggota TNI berdasarkan pasal 32 ayat 2 UU nomor 34 tahun 2002, dilarang untuk terlibat aktivitas politik praktis.
Baca: Ini Lima Program Utama Sudirman Said Untuk Jateng
Sementara anggta Polri beradasarkan Pasal 28 ayat UU nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, juga melarang hal serupa. Sedangkan di UU nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada, mereka hanya disyaratkan mengajukan surat pengunduran diri saat mendaftar.
Padahal pada kenyataannya yang terjadi saat ini, banyak anggota TNI-Polri yang diumumkan akan diusung oleh Partai Politik (Parpol) untuk berpatisipasi dalam pilkada, statusnya masih anggota aktif.
Hal tersebut menimbulkan potensi terjadinya penyalahgunaan kewenangan, kekuasaan dan alat negara, untuk kepentingan politik praktis.
Idealnya, aturan yang baru yang bisa menengahi perbedaan tersebut, bisa memastikan anggota TNI-Polri yang masih berstatus aktif, untuk langsung mengundurkan diri, dan langsung diproses dengan cepat pengunduran dirinya, ketika sang aparat negara sudah diumumkan oleh parpol untuk diusung.
Baca: Mirabelli: Kapten AC Milan Tidak Dijual
"Misalnya kemarin kan PDIP mengumumkan calon-calonnya, dan calonnya diundang, ya sudah, sudah resmi, (TNI-Polri) aktif ya harus mengundurkan diri," ujarnya.
Sehingga dapat dipastikan saat mereka mendaftar ke KPU daerahnya masing-masing, mereka sudah berstatus purnawirawan atau sudah tidak aktif.
Dengan demikian potensi mereka menyalahgunakan kewenangan, kekuasaan dan alat negara, sudah jauh berkurang.
Kalaupun aturan baru yang bisa menengahi perbedaan antara UU Pilkada dengan UU TNI dan UU Polri, seharusnya dalam kasus saat ini, yang diacu adalah UU TNI dan UU Polri.
Pasalnya dua UU tersebut lebih khusus dibandingkan UU Pilkada, dan sesuai asas lex spesialis yang dianut di Indonesia, maka aturan tersebutlah yang harusnya diacu.