Dua Hakim MK Beda Pendapat Soal Putusan Ambang Batas Pencalonan Presiden
Tidak seluruh hakim konstitusi satu suara dalam putusan uji materi Pasal 222 Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Penulis: Muhammad Zulfikar
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, M Zulfikar
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tidak seluruh hakim konstitusi satu suara dalam putusan uji materi Pasal 222 Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Dua hakim konstitusi yang tidak sependapat atau dissenting opinion dengan penolakan putusan terkait uji materi Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 adalah Suhartoyo dan Saldi Isra.
Baca: Berniat Maju di Pilgub Jatim, La Nyalla Mengaku Diminta Uang Rp 40 Miliar Oleh Prabowo
Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 terkait ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold sebesar 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.
Dalam pandangannya, hakim Suhartoyo menilai ambang batas dalam pencalonan Presiden menggunakan hasil pemilu anggota DPR menjadi kehilangan relevansinya dan mempertahankannya berarti bertahan memeilhara sesuatu yang inkonstitusional.
Baca: Politikus Golkar Ini Sebut Bambang Soesatyo Dipastikan Jadi Ketua DPR
Tambah lagi, apabila diletakkan dalam desain sistem pemerintahan, mempergunakan hasil pemilu anggota legislatif sebagai persyaratan dalam mengisi posisi eksekutif tertinggi jelas merusak logika sistem pemerintahan presidensial.
"Dalam sistem presidensial, melalui pemilu langsung, mandat rakyat dibeerikan secara terpisah masing-masing kepada pemegang kekuasaan legislatif dan kepada pemegang kekuasaan eksekutif," tuturnya.
"Menggunakan hasil pemilu legislatif guna mengisi posisi pemegang kekuasaan eksekutif merupakan logika dalam pengisian posisi pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi dalam sistem parlementer," tambahnya.
Baca: Projo Nilai Putusan MK Dorong Lahirnya Calon Presiden Berkualitas dan Legitimate
Masih kata Suhartoyo, hasil studi Djayadi Hanan (2017) menunjukkan negara-negara di Amerika Latin yang kebbannyakan menganut model sistem pemerintahan presidensial dengan sistem kepartaian majemuk seperti Indonesia tidak mengenal presidential threshold dalam mengusulkan calon presiden dan calon wakil presiden.
Sementara itu, hakim Saldi Isra berpendapat, dengan melihat situasi terkahir terutama pasca pemilu presidden dan wakil presiden 2014, menghapus ambang batas maka calin presiden dan calon wakil presiden lebih banyak dibanding pemilu periode lalu.
Menurutnya, dengan jumlah calon yang lebih banyak dan beragam, pembelahan dan ketegangan yang teerjadi di tengan masyarakat dapat dikurangi dengan tersedianya banyak pilihan dalam pemilu presiden.
"Dengan menggunakan dan mempertimbangkan alasan-alasan pengujian konstitusional yang diajukan pemohon untuk menyatakan pasal 222 UU Pemilu adalah inkonstitusionnal dan tidak memiliki kekuatan mengikat sebagaimana permohonan pemohon adalah beralasan menurut hukum dan seharusnya Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan a quo," kata Saldi Isra.