MK Putuskan Pemilu 2019 Tetap Gunakan Presidential Threshold
Uji materi tersebut diajukan oleh Partai Islam Damai Aman (Idaman) yang diwakili oleh Rhoma Irama
Penulis: Muhammad Zulfikar
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan uji materi Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terkait ambang batas pencalonan presiden atau Presidential Threshold.
Mahkamah menolak uji materi Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemillu.
Uji materi tersebut diajukan oleh Partai Islam Damai Aman (Idaman) yang diwakili oleh Rhoma Irama yang berkedudukan sebagai Ketua Umum dan Ramdansyah yang berkedudukan sebagai Sekretaris Jenderal. Perkara tersebut teregistrasi dengan Nomor 53/PUU-XV/2017.
"Menolak permohonan pemohon untuk selain dan selebihnya. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam berita negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya," kata Ketua Majelis Hakim, Arief Hidayat di Gedung MK, Jakarta, Kamis (11/1/2018).
Dalam pertimbangannya, Hakim menuturkan, argumen yang diajukan pemohon untuk menyatakan Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 inkonstitusional, berdasarkan anggapan hasil pemilu sebelumnya yaitu Pemilu 2014 yang dijadikan dasar telah lalu atau selesai sehingga tidak relevan lagi digunakan untuk pencalonan Presiden dan Wakil Presiden 2019 dan sekaligus Partai pendatang baru terdiskriminasi.
Baca: Airlangga Beri Pengarahan Fraksi dan Bahas Calon Ketua DPR
"Hal demikian tidak benar, karena hasil itu tetap penting sebagai peta politik dan pengalaman yang menunjukkan data dan fakta dalam menyusun kebijakan penyelenggaraan pemrintahan dan negara," kata Arief.
Terhadap dalil pemohon bahwa ketentuan presidential threshold dalam pasal 222 UU Pemilu bersifat diskriminatif karena memangkas hak pemohon sebagai parpol peserta Pemilu untuk mengusulkan ketuanya Rhoma Irama sebagai calon presiden, Mahkamah berpendapat bahwa dalil diskriminasi tidak tepat digunakan dalam hubungan ini.
"Karena tidak setiap perbedaan perlakuan serta merta berarti ddiskriminasi," tutur Arief.
Mahkamah, kata Arief juga menilai pokok permohonan pemohon sepanjang berkenaan dengan Pasal 222 UU Pemilu tidak beralasan menurut hukum.
Partai Idaman dalam dalil permohonannya menyebut Pasal 222 UU Pemilu diskriminatif karena hanya orang-orang tertentu yang dapat ditetapkan sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden Tahun 2019.
Pemohon menganggap telah dirugikan hak-hak konstitusionalnya karena diperlakukan sangat tidak adil dan bersifat diskriminatif dimana bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2), Pasal 22E Psal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 D ayat (3), dan Pasal 28 ayat (2) UUD 1945.