KPK Bantah Tebang Pilih Dugaan Korupsi KTP Elektronik
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laode Muhammad Syarief, membantah pihaknya tebang pilih dalam penanganan kasus e-KTP.
Penulis: Fahdi Fahlevi
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laode Muhammad Syarief, membantah pihaknya tebang pilih dalam penanganan kasus e-KTP.
KPK dianggap tebang pilih karena belum pernah memeriksa Menteri Koordinator Pembangunan dan Kebudayaan Puan Maharani terkait kasus e-KTP.
Meski ketika proyek e-KTP tahun anggaran 2011-2012 bergulir, Puan menjabat sebagai Ketua Fraksi PDIP.
Menurut Laode, pemeriksaan pihaknya sesuai perkembangan penyidikan dan penyelidikan.
"Kami memeriksa sesuai perkembangan penyelidikan dan penyidikan perkara korupsi e-KTP, jadi untuk sementara ini, yang kami periksa itu adalah pihak-pihak yang dekat dengan orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka," ujar Laode saat dihubungi, Sabtu (3/2/2018).
Laode mengatakan, pihaknya tidak akan pilih kasih dalam mengusut suatu perkara.
Bila belum dimintai keterangan saat ini, kata dia, bukan berarti dianggap tak penting atau dilindungi dalam kasus ini.
Baca: Tiga Tahun Jadi Menteri Sosial Kekayaan Khofifah Berkurang Rp 12 Miliar
Dia menekankan bahwa KPK akan terus mengembangkan kasus e-KTP ini, dengan memanggil siapa saja yang dianggap relevan untuk pembuktian.
"Jadi tidak ada pilih-pilih. Tebang pilih partai politik, dalam proses penyidikan kasus e-KTP yang dilakukan KPK," tegas Laode.
Diketahui, sejak awal pengusutan kasus E-KTP, KPK belum pernah meminta keterangan dari mantan Ketua Fraksi PDIP, Puan Maharani.
Padahal mantan Ketua Fraksi lain, seperti Anas Urbaningrum, Jafar Hapsah dari Demokrat, serta Setya Novanto dari Partai Golkar telah berkali-kali diperiksa lembaga antirasuah itu.
Diketahui, dalam dakwaan Jaksa KPK terhadap Irman dan Sugiharto, disebutkan ada dugaan Rp 150 miliar mengalir ke Golkar, Rp 150 miliar ke Demokrat, dan Rp 80 miliar ke PDIP dalam proyek e-KTP.
Adapun partai-partai lain turut diperkaya senilai Rp 80 miliar, dari proyek tersebut.
Ilmu Otak Atik Gathuk
Sementara itu, penasihat Hukum Setya Novanto, Maqdir Ismail menilai, langkah panitia lelang proyek e-KTP merupakan suatu kebijakan, meski tidak mengikuti rekomendasi Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP).
Baca: Siswa Penganiaya Guru Itu Dijuluki Pendekar oleh Teman-temannya
Menurut Maqdir menjadi sangat janggal bila akhirnya KPK memasukkan persoalan tersebut ke dalam ranah hukum pidana korupsi.
"Ini pilihan kebijakan, mestinya tidak bisa dijadikan alasan untuk mempidanakan Pak SN," ujar Maqdir saat dikonfirmasi.
Menurut Maqdir, pilihan kebijakan itu sepenuhnya ada di tangan Kemendagri selaku pemilik proyek.
Justru, Maqdir mencurigai karena saran LKPP yang saat itu dipimpin Agus Rahardjo tak diikuti, akhirnya dipermasalahkan saat menjadi Ketua KPK.
"Terhadap pilihan kebijakan pengadaan ikut saran LKPK atau tidak, tidak ada sangkut pautnya dengan Pak SN," kata Maqdir.
Menurut dia, proyek pengadaan e-KTP sepenuhnya kebijakan eksekutif.
Masalahnya sekarang dikesankan seolah-olah bila kebijakan mengenai penganggaran dan pengadaan di Kemendagri diintervensi Setya Novanto.
"Pak SN dikatakan sebagai bosnya Andi bersama-sama dengan Andi mengaturnya. Ini kan pakai ilmu otak atik gathuk," jelas Maqdir.
Diberitakan sebelumnya, eks staf Wakil Presiden, Sofyan Djalil pernah meminta LKPP dan Kemendagri tak berselisih di media mengenai proyek e-KTP.
Hal itu dikatakan pejabat LKPP Setya Budi Arijanta saat bersaksi untuk terdakwa Setya Novanto, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis, 1 Februari 2018.
"Waktu itu rapat di Kantor Wapres, Pak Sofyan Djalil yang memimpin rapat itu minta agar tidak ribut-ribut di media soal e-KTP," kata Setya Budi.
Baca: Ketika Istri Zumi Zola Galau: Maaf Keluarga Kami Sudah Kaya dari Kakek Kami
Awalnya, dugaan penyimpangan proyek pengadaan e-KTP pernah dibahas di Kantor Wakil Presiden pada 2011.
Wakil Presiden saat itu dijabat oleh Boediono, sementara LKPP ketika itu dipimpin Agus Rahardjo.
Saat itu, LKPP mengkritisi temuan pihaknya soal dugaan penyimpangan dalam proses pengadaan proyek e-KTP.
Gamawan Fauzi yang saat itu sedang menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri, tak terima dengan tudingan LKPP.
Gamawan kemudian melapor kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Menurut Setya, Presiden SBY waktu itu lalu menugaskan Boediono untuk menyelesaikan masalah antara LKPP dan Kemendagri.
Kedua pihak kemudian dipertemukan di Kantor Wapres.
Dalam pertemuan itu, LKPP tetap pada keyakinan bahwa terjadi penyimpangan dalam proses lelang proyek e-KTP.
LKPP bersikeras bahwa kontrak pengadaan e-KTP harus dibatalkan. Namun, Sofyan Djalil minta proyek tetap dilaksanakan.
Akhirnya, LKPP menarik diri dari pendampingan proyek.
"Waktu itu alasannya karena e-KTP itu dibutuhkan untuk pemilu, akhinya tetap dilanjutkan," kata Setya. (tribun/fahdi fahlevi)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.