24 Jam Sehari, 7 Hari Seminggu, Polisi Pantau Akun Penyebar Hoax dan Ujaran Kebencian
Para pengguna media sosial diminta tidak ikut-ikutan membuat ujaran kebencian (hate speech) serta menyebar berita bohong (hoax)
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Masyarakat, terutama para pengguna media sosial diminta tidak ikut-ikutan membuat ujaran kebencian (hate speech) serta menyebar berita bohong (hoax) yang bisa mengancam keutuhan bangsa dan negara. Apapun alasannya, polisi siap menindak para pelaku ujaran kebencian dan penyebar berita bohong.
“Pasukan siber polisi bekerja 24 jam sehari memantau akun-akun penyebar hoax dan ujaran kebencian di dunia maya," kata Kombes Pol Sri Suari Wahyudi dari Divisi Humas Mabes Polri saat menjadi pembicara dalam dialog publik bertema "Pilkada 2018: Pesta Politik dengan Semangat Kebangsaan" yang diselenggarakan Institute of Public Policy Universitas Atma Jaya, Rabu (21/2/2018).
Sri Suari mengatakan, polisi tidak hanya memantau akun-akun penyebar ujaran kebencian dan kabar bohong, tetapi juga meredamnya. "Ada tiga upaya yang kami lakukan terhadap akun-akun tersebut. Pertama preemntif. Setelah itu baru preventif. Kalau tidak mau juga diingatkan, barulah kami melakukan tindakan represif," katanya.
Polisi kata Sri Suari, menilai ujaran kebencian, berita bohong, maupun persebaran pesan radikal yang menyebar melalui sosial media sebagai bahaya terbesar terhadap demokrasi saat ini. "Polisi sudah berungkali mengingatkan. Jadi kalau misalnya dilakukan tindakan, tidak ada lagi alasan iseng atau yang alasan lainnya."
Di tempat yang sama aktivis Gusdurian, Savic Ali memuji kerja keras Polri dalam mengatasi informasi bohong di dunia maya. Savic lantas mengingatkan maraknya berita bohong pada peristiwa Pilpres di Amerika Serikat yang menghasilkan terpilihnya Donald Trump.
“Dalam riset kami dalam setahun terakhir ini penyebar kebencian adalah pendukung figur dan partai politik bukan kelompok fanatik keagamaan, yang tiga tahun lalu sangat aktif. Jadi seharusnya tokoh dan partai politik bertanggung jawab,” tuturnya.
Untuk mengatasi hal tersebut, sangat mendesak diperlukan dikembalikannya pembangunan rasa kebangsaan (nation building) yang di masa Presiden Joko Widodo tenggelam oleh pembangunan infrastruktur.
Sementara itu Ketua Pelaksana Gerakan Ekayastra Unmada Putut Prabantoro menilai merenggangnya kebangsaan Indonesia terutama di daerah tidak dapat lepas dari belum meratanya ekonomi dan tingginya biaya politik di Indonesia.
“Tingginya biaya politik membuat motivasi para pemenang kontestasi politik adalah mengembalikan investasi dan cenderung mengabaikan pembangunan ekonomi daerah. Hal yang terjadi terus menerus membuat kebangsaan kita perlahan tergerus,” ujarnya.
Dosen Fakultas Hukum Unika Atma Jaya, Surya Tjandra mengingatkan perlunya sikap realistis terhadap kondisi politik saat ini tanpa harus meninggalkan idealisme kebangsaan yang dicita-citakan dalam pesta demokrasi daerah.
“Tokoh dan partai politik harus mampu mewujudkan harapan masyarakat. Namun diperlukan energi dari para pemimpin yang terpilih adalah menjaga diri agar tetap teguh dari tuntutan para pemilihnya,” tegasnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.