Ini Kata Para Pakar Terkait Larangan Menggunakan Cadar Bagi Mahasiswa Saat di Kampus
Penggunaan cadar, di sejumlah universiitas kini sedang jadi diskusi khusus, setelah UIN Sunan Kalijaga melakukan pelarangan menggunakan cadar
Editor: Sugiyarto
TRIBUNNEWS.COM, SURABAYA - Penggunaan cadar, di sejumlah universiitas kini sedang jadi diskusi khusus, setelah UIN Sunan Kalijaga melakukan pelarangan menggunakan cadar, pada para mahasiswi.
Diskusi ini juga dilakukan oleh Pusat Pengembangan Masyarakat dan Peradaban Islam (PPMPI) Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (UNUSA), Jumat (9/3/2018)
Dalam diskusi kali ini, dua narasumber Prof. Masdar Hilmy, MA., Ph.D, Wakil Direktur Pascasarjana UINSA dan Alfmdra Primaldhi, B.A, S.Psi., M.Si., dari Pusat Kajian Terorisme dan Sosial Fakultas Psikologi Ul memberiikan penjelasan terkait paham radikal, dan kaitannya dengan cadar.
"Kalau dari kajian psikologi tentang ekstrimisme, terorisme, dan radikalisme tidak ada cadar sebagai indikator dari perilaku ekstrem," jelas Alfmdra, Jumat (9/3/2018).
Sebenarnya lanjut Alfindra proses orang menjadi radikal cukup banyak, dan berbeda-beda. Oleh karena itu tidak ada penjelasan secara umum terkait proses seorang mempunyai pemahaman radikal.
"Saya tidak punya wewenang mengatakan boleh atau tidak sebuah iinstitusi melarang anggotanya bercadar. Namun pelarangan itu sah-sah saja dilakukan oleh lembaga dan institusi jika penerapan peraturan itu sudah dilakukan sejak awal," pendapatnya.
Sementara menurut Prof. Masdar Hilmy isu pelarangan bercadar sebenarnya selesai dilakukan melihat kode etik universitas tersebut.
"Sbenarnya cukup menggunakan arumen kode etik, kalau memang tidak ada di dalamnya, sebenarnya selesai. Karena kalau menggunakan argumen agama pembahasan ini tidak akan selesai," ungkapnya tegas.
Alfindra menambahkan seseorang yang memiliki paham radikal diawali dengan satu peristiwa yang membuat mereka merasa cemas.
"Dilihat dari teori psikologi, kecemasan akan kematian yang mengarahkan seseorang untuk bertindak dan mencari orang-orang yang mengalami hal serupa."
"Dan kecemasan akan kematian itu juga membuat orang ekosentris dan lebih berpegang teguh kepada ajaran-ajaran yang lebih pasti," ungkapnya dalam diskusi Religious Extremism.