Kopel: Partai Politik ‘’Haram’’ Bersikap Otoritarian dalam Menentukan Capres dan Cawapres
Caranya dengan cara membuat mekanisme rekruitmen secara terbuka dan menjamin terjadi proses nilai-nilai demokrasi.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komite Pemantau Legislatif (Kopel) Indonesia mewarning partai politik agar tidak bersikap otoritarian terhadap publik dalam menentukan usungan calon presiden (Capres) dan calon wakil presiden (Cawapres) pada pemilu 2019 mendatang.
Sebaliknya, Partai politik harus bisa ‘’dipaksa’’ membangun komunikasi lebih awal dengan konstituen sebelum penentuan kandidat.
Caranya dengan cara membuat mekanisme rekruitmen secara terbuka dan menjamin terjadi proses nilai-nilai demokrasi.
Kopel mengingatkan, salah satu fungsi partai politik sesungguhnya adalah bertugas menyerap dan memperjuangkan aspirasi konstituennya dan akan dipertanggungjawabkan kembali kepada konstituen.
Dalam kaitan rekruitmen kandidat Capres tersebut, sejatinya partai politik membangun mekanisme ruang komunikasi dengan konstituennya.
Baca: Jurus Dugaan Rekayasa Dokter Bimanesh, Setya Novanto Hanya Diinfus Jarum Anak-anak
Baca: Serang Jokowi Hingga Rizieq Shihab, Tersangka Penyebar Hoaks: Saya Hanya Cari Makan
Hal ini sudah diatur dalam dalam UU No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, mengharuskan ada proses reskruitmen yang dilakukan dan terukur dengan memastikan harus dilakukan secara demokratis.
Sayangnya parpol selama ini cenderung abai dengan ketentuan tersebut.
‘’ Setidaknya fenomena tersebut terlihat dari sikap beberapa partai yang sudah mendeklarasikan dukungan calon presiden pada pemilu 2019 ,’’ ujar Direkrtur Kopel Indonesia, Syamsuddin Alimsyah kepada wartawan, Jumat (9/3/2018).
Menurut Syamsuddin Alimsyah, sangat disayangkan sikap partai politik yang tertutup dalam melakukan rekruitmen capres dan cawapres menjadi wujud nyata kemunduran partai politik sebagai laboratorium demokrasi.
"Berkaca tahun-tahun sebelumnya, partai politik dengan cedas mampu menggagas sebuah mekanisme rekruitmen kandidat yang menjamin publik atau setidaknya konstituen partai politik masih bisa ikut berpartisipasi dari awal penentuan kandidat," ujarnya.
"Baik itu dengan mekanisme konvensi atau proses pemilu raya internal partai. Publik lebih awal diajak untuk menilai langsung bakal calon kandidat melalui ide gagasan atas kebangsaan," dia menambahkan.
Dia membandingkan seperti sekarang ini dimana sekedar disuguhi informasi hasil survey elektabilitas seseorang yang keyakinannya tidak terlalu kuat.
Dijelaskan pula, sikap tertutup parpol telah membawa implikasi nyata bagi publik.
Pertama, publik tidak mendapatkan informasi atau penjelasan yang kuat atas argumentasi yang dibangun partai politik dalam menentukan pilihannya.
Misalnya apakah karena visi, gagasan kebangsaan atau karena ada faktor lain.
Kedua, harapan atau aspirasi publik atas persoalan bangsa selama ini serta merta menjadi terabaikan.
"Publik sangat sadar betul, persoalan krusial yang dihadapi bangsa sekarang ini adalah masih tingginya kasus korupsi di semua institusi, sementara penegakan hukum kian lemah dan menuju ketidakpastian. Bahkan secara meluas demokrasi dikuatirkan berjalan mundur," ujarnya.
Dijelaskan bahwa persoalan tersebut sejatinya direkam oleh partai politik dalam fungsinya penyerapan aspirasi.
"Maka dalam konteks tersebut, penggodakan atau pengambilan keputusan atas dukungan capres menjadi ldasar utama yang harus dipertimbangkan," katanya.