Korupsi Dinilai Akan Semakin Masif Bila Pemilihan Kepala Daerah Dilakukan DPRD
"Jika alasannya utamanya adalah untuk menghilangkan korupsi politik, maka di pilkada lewat DPRD juga tidak menggaransi itu,"
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Bambang Soesatyo mengusulkan agar kepala daerah, baik gubernur, bupati dan wali kota dipilih Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ( DPRD).
Dengan begitu, diharapkan tak ada lagi politik uang yang kerap terjadi setiap dilakukan pemilihan kepala daerah digelar.
Menanggapi hal tersebut, peneliti School of Transnational Governance European University Institute Erwin Natosmal Oemar menilai ide kembalinya pemihan kepala daerah ke DPRD adalah ide usang yang tidak refomatif.
Baca: KPK Periksa Panitera MK Terkait Kasus Pencucian Uang Muchtar Effendi
Apalagi menurut aktivis antikorupsi ini, kalau alasannya utamanya adalah karena korupsi politik.
"Jika alasannya utamanya adalah untuk menghilangkan korupsi politik, maka di pilkada lewat DPRD juga tidak menggaransi itu," kata Erwin Natosmal kepada Tribunnews.com, Jumat (9/3/2018).
Sebaliknya, menurut dia, korupsi politik akan makin masif dan tidak terpantau publik bila Pilkada diserahkan kembali ke DPRD.
Namun, ia sepakat bahwa negara harus ikut berbagi peran dengan kandidat yang akan berkompetisi di Pilkada.
Baca: Fakta Terkait Gugatan Cerai Ahok: Tak Mau Terima Tamu Hingga Pengakuan Veronica Lewat Surat
Dalam batas-batas tertentu, lebih lanjut menurutnya, negara harus menangung biaya politik yang digunakan kandidat.
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Bambang Soesatyo mengusulkan agar kepala daerah, baik gubernur, bupati dan wali kota dipilih oleh DPRD.
Baca: Dakwaan Bimanesh Ungkap Peristiwa Sebelum Setya Novanto Kecelakaan, 3 Hal Ini Dibantah Pengacara
Dengan begitu, diharapkan tak ada lagi politik uang yang kerap terjadi tiap kali pemilihan kepala daerah digelar.
"Ada baiknya ke depan, pemilihan kepala daerah mulai dari bupati, wali kota, hingga gubernur tidak dilakukan secara langsung tetapi dikembalikan ke DPRD," kata Bambang dalam keterangan tertulis, Rabu (28/2/2018).
Politikus Partai Golkar yang akrab disapa Bamsoet ini mengaku prihatin dengan politik uang yang banyak dilakukan saat pilkada.
Baca: Jokowi Dijadwalkan Hadiri Peluncuran Program Bank Wakaf Mikro di Pesantren Alsalafia Alfitra
Banyak calon kepala daerah yang menyogok rakyat agar bisa dipilih. Rakyat pun dengan senang hati menerima uang atau barang yang diberikan.
"Masyarakat terbiasa dibeli dengan uang. Ironisnya, di beberapa daerah yang saya kunjungi, ada warga yang berharap pilkada bisa dilakukan setiap tahun hingga mereka bisa mendapatkan uang terus," kata Bambang.
Selain politik uang, Bambang juga menyoroti potensi konflik yang tinggi apabila pilkada dipilih langsung oleh masyarakat. Apalagi, konflik ini sengaja ingin diciptakan oleh kelompok tertentu.
Menurut Bambang, mulai terlihat upaya untuk memecah persatuan bangsa serta merusak kerukunan antarumat beragama. Pola-pola penyerangan terhadap tokoh, pemuka agama serta rumah ibadah, menjadi salah satu bukti upaya memecah persatuan dan merusak kerukunan antar-umat beragama.
"Pola-pola seperti ini pernah dilakukan beberapa tahun lalu. Modus yang dipake antara lain dengan menggunakan isu dukun santet dimana banyak korban yang jatuh," ujar Bambang.
Usul mengubah sistem pilkada dari dipilih langsung oleh rakyat menjadi diwakilkan lewat DPRD pernah diusulkan oleh Partai Golkar dan beberapa partai lain pada akhir masa jabatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Usul ini sudah gol di dalam rapat paripurna DPR dan disahkan dalam Undang-Undang Pilkada.
Namun, karena protes keras publik, SBY akhirnya mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang kembali membuat pilkada dipilih langsung oleh rakyat.