Ketua DPR Ajak KPK Kaji Sistem Pilkada
Untuk menjadi calon kepala daerah, dibutuhkan ongkos politik yang sangat mahal. Disinilah celah korupsi sangat terbuka terjadi.
Editor: Content Writer
Indonesia sedang menuju bebas korupsi. Kanal-kanal yang sangat rawan terjadinya praktik koruptif perlu dicegah sejak dini. Dan ajang pemilihan kepala daerah (Pilkada) langsung merupakan salah satu yang menjadi sorotan DPR dan KPK.
Untuk menjadi calon kepala daerah, dibutuhkan ongkos politik yang sangat mahal. Disinilah celah korupsi sangat terbuka terjadi.
Ketua DPR RI Bambang Soesatyo dalam sambutannya di Gedung KPK pada acara laporan tahunan KPK 2017, Senin (12/3/2018), menyebutkan, demokrasi di daerah yang mestinya dihadapi dengan riang gembira, malah berakhir duka. Banyak petahana dan calon kepala daerah lainnya terjaring operasi tangkap tangan (OTT) KPK, karena melakukan tindak pidana korupsi. Begitu juga kepala daerah yang sedang menjabat banyak yang ditetapkan tersangka karena mengkorupsi dana APBD.
“Ini semua karena biaya yang dikeluarkan untuk merebut posisi dalam Pilkada luar biasa mahal. Tidak ada yang bisa diharapkan dari seorang kepala daerah dengan biaya puluhan bahkan ratusan milyar itu bisa bekerja dengan baik untuk rakyat. Ini masukan bagi KPK. Dan kita harus pikirkan sebagai anak bangsa yang punya tanggung jawab bersama, bagaimana kita mencegah bahkan menghentikan praktik-praktik transaksional ini,” ucap Bamsoet di hadapan Pimpinan KPK dan lembaga tinggi negara lainnya.
Pihaknya mengajak KPK melakukan kajian mendalam soal korupsi yang dilakukan para kepala daerah. Bila DPR yang menyampaikan kajian itu, kurang direspon positif oleh publik. Sementara bila KPK langsung yang menyampaikan hasil kajian tentang korupsi di daerah, pasti didengar dan direspon positif publik. Kajian itu menghendaki agar Pilkada diserahkan saja ke DPRD setempat dan tidak lagi digelar secara langsung. “Pilkada langsung punya implikasi buruk bagi masa depan bangsa kita,” tegas Bamsoet lagi.
Dalam konteks ini, sila keempat Pancasila mengamanatkan agar pemilihan kepala daerah diserahkan kepada sistem perwakilan. Dengan cara tak langsung ini, pihaknya percaya korupsi bisa dicegah dan berkurang drastis. “Keputusan Pilkada tidak langsung sudah kita putuskan jelang berakhirnya kepemimpinan Pak SBY. DPR sudah ketuk palu. Lalu, pemerintah membatalkan melalui Perppu. Akhirnya dikembalikan ke pemilihan langsung,” ungkap Bamsoet.
Menurut politisi Golkar itu, mengembalikan Pilkada ke sistem perwakilan bukanlah kemunduruan demokrasi. Sayangnya, masyarakat kerap memobilisasi opini yang menyerang DPR sebagai pembuat kebijakan yang tidak populis. Untuk itu, KPK perlu bersuara yang seirama dengan DPR soal wacana mengembalikan Pilkada ke sistem perwakilan. Ini semangatnya untuk memerangi korupsi. Pilkada langsung dinilai lebih bnayak mudaratnya daripada manfaatnya. (*)