Politikus Demokrat Sebut Peluang Adanya Poros Ketiga Untuk Pilpres Masih Terbuka Lebar
Pernyataan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) soal akan adanya pemimpin baru pada 2019, memunculkan spekulasi akan adanya poros
Penulis: Taufik Ismail
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews, Taufik Ismail
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pernyataan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) soal akan adanya pemimpin baru pada 2019, memunculkan spekulasi akan adanya poros ketiga.
Apalagi Wakil Ketua Dewan Pembina Demokrat, Agus Hermanto mengatakan bahwa saat ini masih memungkinkan untuk terbentuknya poros ketiga dalam Pilpres 2019.
Baca: Ratusan Orang Tewas Akibat Miras Oplosan, Polri: Ini Momentum Untuk Revisi Regulasi Biang Alkohol
Alasannya, waktu untuk menjalin komunikasi dengan partai lain masih panjang hingga batas akhir masa pendaftara Pilpres awal Agustus mendatang.
"Untuk itu PD (partai demokrat) memang menggunakan waktu itu yang seefektif mungkin. Karena waktu sudah cukup bisa saja dalam hal ini apabila memang dicapai suatu koordinasi-koordinasi dan kesepakatan-kesepakatan sehingga dapat mengusung presiden dan wapres pada poros ketiga bisa saja. Karena memang masih dimungkinkan," katanya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, (24/4/2018).
Baca: PDIP: Pemimpin Baru Maksud Pak SBY, Presiden Jokowi Dilantik Lagi
Tidak hanya itu, menurutnya poros ketiga sangat mungkin terbentuk karena bursa Cawapres masih sangat cair.
Peta politik masih bisa berubah tergantung para Capres yang kini sudah mendekalarsikan diri maju dalam Pilpres memilih calon wakilnya.
"Sehingga waktu itulah yang digunakan PD untuk berkoordinasi dan menguatkan struktur dari PD sehingga bisa kemungkinan juga mengusung dari poros ketiga," katanya.
Baca: Penasihat Hukum Setya Novanto Pertimbangkan Ajukan Banding
Secara terpisah direktur Survei dan Polling Indonesia (SPIN), Igor Dirgantara mengatakan ucapan SBY soal akan adanya pemimpin baru di 2019 sangat mungkin terwujud.
Mengingat, saat ini masih ada sejumlah persoalan krusial yang belum terselesaikan.
"Perekonomian Indonesia yang ditandai dengan menurunnya daya beli masyarakat, minimnya ketersediaan lapangan pekerjaan juga harga barang kebutuhan pokok. Kemiskinan masih menjadi PR besar bagi pemerintahan sekarang.
Catatan ini di perburuk lagi dengan adanya Perpres Tenaga Kerja Asing ditambah anjloknya nilai tukar Rupiah yang tembus batas psikologis Rp 14 ribu," katanya.
Baca: Pimpinan KPK: Vonis 15 Tahun Untuk Setya Novanto Belum Maksimal
Menurut Igor, masyarakat sudah bisa membandingkan, dan merasakan kinerja kepemimpinan nasional.
Munculnya polemik isu-isu penting seperti penegakan ham, pemberantasan korupsi, impor beras, garam, dan lainnya akan menambah catatan negatif pemerintah.
"Karena itu, ucapan SBY tersebut diatas memang berpotensi menjadi kenyataan. Ada indikasi bahwa publik ingin pemerintahan baru yang dapat mengatasi persoalan lambannya pertumbuhan ekonomi," katanya.
Menurutnya, walaupun dikatakan 70% masyarakat puas dengan kinerja pemerintahan saat ini.
Namun, masih ada kelompok masyarakat yang berpandangan sebaliknya.
Salah satu contohnya, yakni muncul gerakan #2019GantiPresiden.
"Sehingga ini bisa dijadikan preseden ke arah perubahan kepemimpinan nasional, dengan persentase 50:50. Dengan kata lain, 50% incumbent bisa bertahan dan 50% juga bisa dikalahkan," katanya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.