Din Syamsuddin Dinilai Memiliki Preferensi Tinggi Jadi Cawapres
Suhardi menyampaikan hal itu menanggapi mulai maraknya penyebutan nama Din Syamsuddin dalam bursa cawapres, yang saat ini sedang digodok oleh parpol.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Utusan Khusus Presiden RI untuk Dialog dan Kerjasama Antaragama dan Peradaban (UKP-DKAAP) Din Syamsuddin dinilai memiliki preferensi tinggi untuk dinominasikan sebagai cawapres.
Ia bisa diduetkan dengan Joko Widodo, Prabowo Subianto atau bahkan Gatot Nurmantyo.
”Din tidak hanya mumpuni sebagai ulama, tapi juga punya kapasitas sebagai pemimpin yang baik,” kata mantan Direktur Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Suhardi, di Jakarta, Selasa (8/5/2018).
Suhardi menyampaikan hal itu menanggapi mulai maraknya penyebutan nama Din Syamsuddin dalam bursa cawapres, yang saat ini sedang digodok oleh parpol-parpol peserta pemilu.
Berbeda dengan hasil sejumlah survei yang hanya menominasikan Joko Widodo dan Prabowo Subianto sebagai kandidat capres, bursa cawapres yang akan mendampingi keduanya sejauh ini memang masih sangat cair.
Baca: Din Syamsuddin: Dari Bogor Kita Gelindingkan Islam Wasathiyah untuk Peradaban Dunia
Nama Din, yang juga menjabat Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, itu mulai santer disebut setelah sukses menginisiasi forum Konsultasi Tingkat Tinggi (KTT) Ulama dan Cendekiawan Muslim Dunia yang digelar di Bogor 1-3 Mei lalu.
Din sebelumnya juga pernah menjabat Ketua Umum MUI Pusat dan dua periode menjabat Ketua Umum PP Muhammadiyah.
Sebelum dilantik menjadi Utusan Presiden, Din sendiri sudah lama berkiprah dalam berbagai forum dialog antaragama dan peradaban di tingkat nasional maupun internasional.
Utamanya yang mengusung topik wasatiyaat Islam, atau ”Islam jalan tengah”, prinsip dalam gerakan moderasi yang menunjuk Islam sebagai agama pembawa pesan damai, anti-kekerasan, toleran, dan memberikan rahmat bagi semesta.
Menurut Suhardi, posisi cawapres yang dipilih oleh siapa pun akan sangat menentukan kemenangan. Salah memilih figur, peluang untuk kalah cukup besar.
Hal itu karena figur capres yang ada sekarang tidak cukup kuat. ”Ditambah dengan situasi sosial masyarakat saat ini yang cenderung terbelah, capres butuh pendamping seorang tokoh yang memiliki integritas dan dikenal luas serta diterima banyak kalangan,” tuturnya.
Suhardi menambahkan, pengertian muslim moderat, radikal ataupun lunak sebenarnya tidak terlalu relevan, karena kategorisasi tersebut tidak ada konteksnya. Kalau hal itu digunakan untuk menjawab situasi belakangan ini, akan kehilangan relevansi.
”Sebab, cawapres tidak harus ahli agama. Yang penting paham dan mampu mengakomodasi aspirasi harapan umat Islam,” ujarnya.
Suhardi mengingatkan, pada periode 2004-2014, sekalipun presiden dan wakilnya bukan figur yang kuat dalam paham Islam, namun tidak ada hiruk pikuk terkait relasi dengan umat Islam. Meski, ada juga kasus berkenaan dengan terorisme, hubungan antaragama, dan lain-lain.
”Pertanyaannya, apakah jika ada pemimpin dari figur Islam moderat akan mampu meniadakan kasus-kasus tersebut? Apalagi jika presidennya kurang kredibel, apakah mungkin wakilnya efektif?” tanya Suhardi.
Siapa pun wapres yang dipilih, tegas Suhardi, akan sulit mengurangi atau menyelesaikan masalah bangsa jika kapasitas presidennya terbatas. Wapres hanya mampu berkontribusi mengantarkan ke pemenangan dalam pilpres.
”Jadi, andai Din Syamsuddin bisa didorong sebagai cawapres, ia pun harus memilih pasangan capres yang kredibel dan punya kapasitas untuk membawa kemajuan bangsa dan negara. Kalau tidak, dia justru akan terkena getah kegagalan,” katanya.
Din Syamsuddin, menurut Suhardi, adalah salah satu figur pemimpin Islam yang cukup senior. Selain memiliki kemampuan organisasi yang teruji, juga dikenal sebagai intelektual muslim yang memiliki jaringan internasional luas.
Ia juga paham masalah politik. Namun, pada sisi lain, pengenalan masyarakat terhadap Din masih terbatas. Terutama di pedesaan.
Sebagai orang bukan dari parpol, lanjut Suhardi, hal tersebut bisa menguntungkan tapi sekaligus juga menjadi keterbatasan. Terutama di tengah merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap parpol.
”Masalah lain, belum tentu parpol mau mencalonkan Din jika tidak ada deal khusus. Kecuali parpol yang memiliki kesamaan ide dengan dia,” pungkasnya.