Bom Surabaya, Antara Dendam dan Pembuktian Eksistensi ISIS, Lalu Siapakah Mastermind-nya?
Jika bukan ekonomi, lantas apa yang mendorong ayah, ibu dan anak ini untuk melakukan serangan bom?
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Serangan bom di tiga gereja di Surabaya, Minggu (13/5/2018) kemarin, menyingkap fakta mengejutkan.
Terduga pelaku teror diketahui merupakan satu keluarga. Pengamat terorisme dari The Community Ideological Islamic Analyst (CIIA) Harits Abu Ulya menyoroti fenomena ini.
"Apakah faktor kemiskinan membuat mereka menjadi bomber maut? Dari indikasi rumah hunian, mereka bukan orang miskin, namun dari kelas ekonomi berkecukupan," ujar Harits kepada Kompas.com, Senin (14/5/2018).
Jika bukan ekonomi, lantas apa yang mendorong ayah, ibu dan anak ini untuk melakukan serangan bom?
"Analisis saya, energi terbesar yakni soal pemahaman teologi beku yang diadopsi suami-istri, yang kemudian diperkenalkan ke putra-putrinya dengan waktu sekaligus intensitas yang cukup," ujar Harits.
Apalagi, sang ayah bernama Dita Oepriarto (47), menurut catatan kepolisian merupakan Ketua Jamaah Anshar Daulah (JAD) Surabaya Raya.
Selain itu, menurut Harits, pelaku berasumsi bahwa mereka dan kawan-kawannya saat ini tengah menjadi korban kezaliman.
Cara mereka dalam mengekspresikan keyakinan pun terhalang langkah-langkah negara melalui aparat keamanan.
Faktor-faktor di atas, lanjut Harits, menstimulasi rasa dendam, keputusasaan dan kenekatan dalam diri si ayah dan ibu.
"Artikulasi puncaknya, mereka memilih sebagai bomber maut, mengajak serta anak-anak mereka," kata Harits.
Eksistensi ISIS
Sebagaimana diberitakan, ISIS mengklaim bertanggung jawab atas serangan tiga gereja oleh satu keluarga di Surabaya itu.
Kepolisian juga menemukan indikasi keluarga tersebut berafiliasi pada ISIS. Mengingat, JAD merupakan salah satu organisasi penopang ISIS yang beraktivitas di Tanah Air.
Menurut Harits, klaim ISIS bisa dimaklumi. Sebab di Timur Tengah, posisi ISIS semakin tersudut usai dibombardir Amerika Serikat beserta sekutunya, beberapa waktu lalu.
"Mereka butuh menunjukkan eksistensinya. Mereka ini sedang butuh membangkitkan moral semua elemen yang menjadi bagiannya dengan narasi keberhasilan-keberhasilan serangan sporadis dan terencana yang dilakukan di banyak negara di luar Suriah," ujar Harits.
"Jadi, antara dendam kesumat dan kelompok yang lagi lemah sedang membangun citra melalui aksi teror akan menjadi pusaran dari fenomena kekerasaan saat ini dan bisa jadi di waktu mendatang," kata dia.
Namun, publik mesti mendapat pencerahan soal siapa mastermind atau otak bom gereja di Surabaya.
Sebab, peristiwa itu menyisakan sejumlah tanda tanya. Siapa yang mampu merakit bom berdaya ledak tinggi seperti itu? Siapa yang mengajari? Bagaimana pelaku mendapatkan bahan baku bom? Apakah melalui buku panduan? Siapa yang memberi buku panduan itu? Terlebih, siapa dan bagaimana Dita dan keluarganya berkenalan dengan ideologi teror, sehingga siap menjadi "pengantin"?
"Mengingat serangan ini dilakukan secara terorganisasi dan diduga melibatkan banyak orang, lantas siapakah mastermind-nya? Publik menunggu jawaban dari pemerintah dengan terang benderang," ujar Harits.(Fabian Januarius Kuwado)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Bom Surabaya, Antara Dendam dan Pembuktian Eksistensi ISIS...", https://nasional.kompas.com/read/2018/05/14/08515911/bom-surabaya-antara-dendam-dan-pembuktian-eksistensi-isis.