Mendikbud Ancam Akan Tutup Sekolah Yang Ajarkan Radikalisme, Legalkan Ekstemisme Dan Kekerasan
Menurut Muhadjir, ini modus baru, orang tua melibatkan anaknya untuk bom bunuh diri.
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy bersuara terkait penggunaan anak-anak dalam tiga kasus bom bunuh diri di Surabaya dan Sidoarjo, Jawa Timur.
Menurut Muhadjir, ini modus baru, orang tua melibatkan anaknya untuk bom bunuh diri.
"Anak tersebut adalah korban radikalisasi oleh orang tuanya sendiri," tegas Mendikbud kepada Tribunnews.com, Kamis (17/5/2018).
Mendukbud menegaskan orang tua memegang peran kunci sebagai filter radikalisme selain dari sekolah.
Karena porsi keluarga justru lebih besar daripada sekolah.
Untuk itu pula menurutnya, penguatan tripusat pendidikan ajaran Ki Hajar Dewantara, yakni keluarga, sekolah dan masyarakat, sangat urgen.
Selain juga sekolah dan guru harus menguatkan hubungan dengan keluarga dan memiliki data akurat keluarga siswa sehingga bisa mengantisipasi gejala radikalisme.
"Komite sekolah juga harus ikut berperan," jelasnya.
Lebih jauh ia mengancam sekolah-sekolah yang mengajarkan radikalisme, melegalkan ekstemisme dan kekerasan, akan diberi sanksi keras.
"Bila perlu ditutup. Misalnya, sekolah yang melarang upacara bendera, mangajarkan ujaran kebencian pada kelompok tertentu, atau mengajarkan intoleransi," tegasnya.
Selain itu kata dia, guru-guru harus mulai menerapkan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) secara nyata.
Bukan sebagai pelajaran semata, tetapi juga pengalaman untuk siswa.
Misalnya dia memberi contoh, mengajak mengenal dan berkunjung ke tempat ibadah beda agama, ke musium, menjenguk teman sakit, kerja bakti, dan lain-lain.
Sebelumnya Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri), Jenderal Tito Karnavian menyebut empat pelaku bom bunuh diri di Mapolrestabes Surabaya adalah satu keluarga.
Menurut Tito, para pelaku yang mengendarai dua sepeda motor, sebenarnya berjumlah lima orang.Namun seorang lagi adalah anak kecil berusia delapan tahun yang duduk di bangku depan sepeda motor terlempar dan selamat.
"Pelaku ya inisial TM dan mereka sekeluarga lagi,bapak, ibu dan anak-anaknya,"ujar Kapolri dalam konferensi persnya di Media Center Polda Jatim,di Surabaya, Jawa Timur, Senin (14/5/2018).
"Yang satu lagi selamat," ucap Tito lebih lanjut.
Kini anak berusia 8 tahun itu tengah mendapatkan perawatan di Rumah Sakit Bhayangkara.
Bukan itu saja, Kapolri menjelaskan bom meledak dari lantai lima rusun Rusun Wonocolo, Sidoarjo,Minggu malam juga dilakukan oleh satu keluarga.
Para pelaku satu Kartu Keluarga (KK) beranggotakan enam orang.
"Ada enam orang, semuanya satu keluarga. Ayah, ibu, dan empat orang anaknya. tapi ini data sementara," jelas Kapolri.
Dari enam itu, ada tiga orang yang meninggal dunia, yakni ayah, ibu dan seorang anaknya.
Sementara tiga anak lainnya sudah dilarikan ke RS Siti Khodijah. Satu anak laki-laki selamat.
Menurut Kapolri, kejadian ini sama dengan pelaku bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya, yakni dilakukan satu keluarga.
Menurut Kapolri, pelaku yang menyerang di Gereja Pantekosta Pusat Surabaya yang menggendarai Mobil Avanza adalah bapaknya, bernama Dita.
Dita melakuakn serangan bom bunuh diri dengan cara menabrakkan mobil yang dikemudikannya ke Gereja Pantekosta.
Namun sebelum melakukan aksinya, Dita terlebih dahulu mengantar isteri dan dua anak perempuannya di Gereja GKI Jalan Diponegoro.
"Isterinya yang diduga meninggal bernama Puji Kuswati. Kemudian anaknya yang perempuan berumur 12 tahun dan Pamela Rizkita (9 tahun)," ujar kapolri.
Di lokasi ledakan ketiga di Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela, kata Kapolri, pelakuanya adalah dua laki-laki yang juga merupakan putera dari Dita.
"Putera dari pak Dita, yang satu namanya Yusuf Fadil, usianya 18 tahun. Dan Firman, usianya 16 tahun," jelas Kapolri. (*)