Kisah Liku-liku Lahirnya Mata Uang Rupiah, dari Surabaya Sampai Yogyakarta
Mata uang Indonesia, Rupiah, ternyata punya kisah sejarah yang panjang, sebelum resmi beredar pada akhir Oktober 1946
Editor: Sugiyarto
TRIBUNNEWS.COM - Mata uang Indonesia, Rupiah, ternyata punya kisah sejarah yang panjang, sebelum resmi beredar pada akhir Oktober 1946 untuk menggantikan uang Jepang yang berlaku saat itu.
Seperti apa sejarah lahirnya Rupiah?
Dua bulan setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, Oktober 1945, Indonesia mengalami kesulitan ekonomi.
Menteri Keuangan kabinet pertama kala itu, Mr. Maramis, menggagas langkah pembuatan mata uang RI, yang istilah pada masa itu, Oeang Repoeblik Indonesia (ORI).
Gagasan membuat uang sendiri dianggap sebagai upaya untuk menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara yang benar-benar berdaulat.
Panitia Dua Selanjutnya, dibentuk Panitia Penyelenggara Pencetakan Uang Republik Indonesia atau dikenal Panitia Dua. Anggotanya adalah Aos Surjatna dan Sahlan Etfeni Osman.
Dikutip dari Harian Kompas, 14 Agustus 1970, dikisahkan bahwa awalnya pengerjaan pencetakan uang dilakukan di Surabaya.
Namun, saat itu, November 1945, terjadi pertempuran sehingga pencetakan uang dipindahkan ke Jakarta.
Di Jakarta, pencetakan uang salah satunya dilakukan di Balai Pustaka. Akan tetapi, situasi politik yang memanas, membuat proses pencetakan tak bisa dikerjakan hingga selesai di Jakarta.
Uang kuno seberat 13,5 kilogram yang ditemukan oleh salah seorang warga di pekarangan rumahnya di Dusun Gedad, Desa Banyusoco, Playen, Gunungkidul, Jumat (21/10/2016). (Tribun Jogja/ Rendika Ferri K)
Dibawa ke Yogyakarta
Bersama dengan hijrahnya Bung Karno ke Yogyakarta, uang yang sudah jadi beserta bahan bakunya turut dibawa.
Sementara itu, kertas sebagai bahan baku yang sudah tersedia di pabrik kertas Padalarang juga diangkut ke Yogyakarta. Setibanya di Yogyakarta, kertas-kertas tersebut disebar ke berbagai tempat penyimpanan.
Ada yang disimpan di pabrik gula, ada pula yang dititipkan di rumah Pangeran Purbodirdjo yang berada di Kampung Patangpuluhan.
Sementara, sebagian lagi ditimbun di gudang percetakan bekas Kolff Buning, di Jalan Lodji Ketjil.
Dengan segala keterbatasan, mereka harus membuat uang kertas yang tidak mudah ditiru dan berkualitas baik. Lembaran-lembaran uang harus ulet, lemas, tidak mudah kotor, dan tidak mudah dipalsukan.
Uang kertas yang dibuat bukan saja besar jumlahnya, tetapi juga banyak jenisnya. Uang kertas harus dibuat dalam pecahan 1 sen, 5 sen, 10 sen, 50 sen, 1 rupiah, 10 rupiah, dan 100 rupiah.
Mesin cetak yang digunakan untuk pembuatan uang waktu itu terdiri atas dua buah stopcylinder Augsburg 65 x 50. Uang satu sen kemudian diterbitkan pada 17 Oktober 1945.
Hambatan dalam fasilitas cetak terpaksa diatasi dengan membagi pekerjaan menjadi tiga daerah. Aos Surjatna, Suherman, dan Sudarsono memimpin pengerjaan di Yogyakarta.
Mereka memperoleh fasilitas yang disediakan oleh Percetakan Kanisius, percetakan bekas Kolff Buning, dan Percetakan Kedaulatan Rakyat.
Berdasarkan keterangan Suherman, Panitia Dua harus meminta dari lembaga atau instansi lain untuk mencukupi kebutuhan bahan-bahan pembuatan tinta.
Untuk mencukupi keperluan itu, mereka dibantu oleh Departemen Kemakmuran. Meski dengan susah payah, akhirnya uang kertas ORI bisa diselesaikan, dan akhirnya beredar pada akhir Oktober 1946. (*)