Soal 200 Mubaligh, Menag: Ya Sepenuhnya Sudah Jadi Kewenangan MUI
Kementerian Agama (Kemenag) telah menyerahkan keputusan terkait 200 nama mubaligh yang telah diterbitkan Kemenag kepada Majelis Ulama Indonesia
Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Fajar Anjungroso
Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Usai melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VIII DPR RI, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menyampaikan sedikit tanggapannya.
Ia mengatakan Kementerian Agama (Kemenag) telah menyerahkan keputusan terkait 200 nama mubaligh yang telah diterbitkan Kemenag kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Organisasi Islam itu pun telah menyetujui langkah Kemenag.
Namun untuk melengkapi kebijakan tersebut, MUI akan menyiapkan sertifikasi kompetensi para mubaligh agar masyarakat tidak salah paham.
"Ya sepenuhnya sudah menjadi kewenangan MUI, tentu bersama ormas-ormas Islam, untuk bagaimana menyikapi secara arif dan bijak, seperti apa yang tadi menjadi keputusan rapat kerja sore hari ini," ujar Lukman, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (24/5/2018).
Lukman menjelaskan bahwa dirilisnya nama-nama mubaligh bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
"Ya saya pikir sudah sangat jelas ya itu kebutuhan masyarakat, karena masyarakat yang memintanya," kata Lukman.
Menurutnya, jika masyarakat telah menyampaikan permintaan positif kepada Kemenag, maka tidak ada alasan untuk menolaknya.
"Tentu Kementerian Agama tidak boleh tidak melayani permintaan masyarakat," jelas Lukman.
Ia kemudian menegaskan, hingga saat ini pihaknya masih terus melakukan koordinasi dengan MUI serta sejumlah Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) lainnya untuk menyiasati permintaan yang menurutnya memang disampaikan masyarakat.
Baca: Bangga Ekspansi ke Negara ASEAN, Rudiantara: GO-JEK Pandai Lihat Pasar
"Oleh karenanya, tentu terkait hal ini, kami Kementerian Agama akan terus berkoordinasi dengan ormas-ormas Islam, dengan MUI, untuk bagaimana memenuhi permintaan yang datang dari masyarakat itu" tegas Lukman.
Sebelumnya polemik terus bermunculan terkait diterbitkannya 200 nama mubaligh tersebut.
Sejumlah politisi mengaku tidak setuju karena hal itu terkesan mendiskriminasi ustadz.
Selain itu, ada pula politisi yang menilai bahwa masyarakat telah memiliki rujukan sendiri terkait siapa ustadz yang mereka percayai untuk didengarkan ceramahnya.