Suasana Tegang di Sidang Teroris, Pengakuan Aman Abdurahman Soal Ajakan WNA Hingga Acungkan Jari
Suasana di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sempat diliputi ketegangan saat persidangan terdakwa terorisme Aman Abdurrahman.
Editor: Anita K Wardhani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Suasana di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sempat diliputi ketegangan saat persidangan terdakwa terorisme Aman Abdurrahman.
Bagaimana tidak, baru menit-menit awal persidangan, tiba-tiba suara dentuman keras terdengar tiba-tiba terdengar sangat dekat dari pengadilan.
Suasana langsung tegang karena tidak ada yang mengetahui bunyi tersebut. Kepanikan melanda pegawai PN Jaksel, terlihat mereka segera keluar dari ruangannya dengan berlari dan berteriak.
Majelis hakim kemudian menunda sementara (skors) jalannya persidangan.
Aparat bersenjata lengkap berjumlah empat orang langsung mengelilingi Aman yang sudah duduk di kursi terdakwa.
Petugas berpenutup wajah tersebut mengedarkan pandangan awas ke ruangan sidang dan ke dua tangan memegang senjata laras panjang. Senjata tersebut moncongnya masih di arahkan ke bawah.
Petugas kemudia memeriksa barang bawaan pengunjung, misalnya isi dalam tas.
Tidak hanya di dalam, di luar persidangan mengalami kejadian serupa. Aparat langsung menyebar dan mencari tahu sumber ledakan. Semuanya mengambil posisi siap dan menyiapkan senjata.
Para polisi itu diperintahkan untuk sigap dan bersedia. Kesiagaan aparat tidak hanya di area Pengadilan Negeri Jakarta Selatan namun juga hingga ke jalan raya.
Setelah suara ledakan itu dipastikan bukan bahan peledak atau sumber berbahaya, polisi kemudian berkumpul kembali dan mengatakan kondisi aman. Persidangan kemdian dilanjutkan.
Berdasarkan informasi yang dihimpun TribunJakarta (Tribunnews.com Network), bunyi ledakan itu berasal dari drum yang dibawa crane jatuh. Di depan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sedang ada pembangunan.
Keterangan tersebut diperkuat dengan komentar dari kepolisian.
"Dari proyek pembangunan itu suaranya," ucap seorang aparat keamanan kepada rekannya di PN Jaksel, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Jumat (25/5/2018).
Persidangan kemudian dilanjutkan. Agenda sidang adalah nota pembelaan atau pledoi dari Aman dan kuasa hukumnya. Aman sebelumnya dituntut hukuman mati oleh jaksa penuntut umum.
TribunJakarta.com (Tribunnews.com Network) merangkum sejumlah pernyataan Aman Abdurrahman saat membacakan nota pembelaannya.
1. Aman Sebut Pembelaan Tak Pengaruhi Vonis
Terdakwa teroris bom Thamrin dan Kampung Melayu Aman Abdurrahman, membacakan pledoi nota pembelaannya atas vonis hukuman pidana mati dari Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Aman membacakan sendiri pledoi nota pembelaannya, yang terdiri dari 60 halaman kertas, namun diringkas untuk mempersingkat waktu.
Di awal pembacaan, Aman mengatakan dirinya tidak akan melakukan pembelaan bagi dirinya, atas segala tuduhan yang telah disematkan kepadanya.
Hal ini dikarenakan, pembelaan tersebut tidak akan mempengaruhi vonis hukuman mati yang dijatuhkan JPU kepadanya.
"Pembelaan tidak akan mempengaruhi vonis yang sudah disiapkan untuk saya," ucap Aman di PN Jaksel, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Jumat (25/5/2018).
Bahkan di akhir pembacaan pledoi, Aman mengatakan dirinya siap jika dijatuhkan hukuman mati oleh Majelis Hakim.
"Vonis seumur hidup atau vonis mati silahkan saja, jangan ragu atau berat hati. Tidak ada sedikit pun saya gentar dan rasa takut, di dalam hati saya dengan hukuman zalim kalian ini," ucap Aman dihadapan Majelis.
2. Aman Baru Tahu Kasus yang Menjeratnya Saat Jalani Sidang
Terdapat beberapa kasus aksi terorisme, yang dikaitkan dengan Aman Abdurrahman, pria yang disebut-sebut sebagai pemimpin jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD).
Beberapa kasus terorisme tersebut diantaranya adalah bom Thamrin, bom di Kampung Melayu, dan penyerangan Pollda Sumatera Utara.
Namun, Aman membantah semua hal tersebut, dan baru mengetahui peristiwa terorisme tersebut ketika di persidangan ini.
"Saya sendiri baru tahu itu semua pada saat sidang ini, dimana semua kasus itu terjadi pada bulan November 2016 hingga September 2017," ucap Aman kepada Majelis Hakim, Jumat (25/5/2018).
Sementara Aman sendiri, di isolasi di Lapas Pasir Putih Nusakambangan, sejak bulan Februari 2016.
Kemudia kembali diambil oleh satuan Densus 88 pada Agustus 2017.
Aman mengatakan, ketika di isolasi dirinya sama sekali tidak mengetahui pemberitaan, dan tidak bisa bertemu dengan siapapun atau pun berkomunikasi.
"Saya hanya bisa bertemu dan berkomunikasi, dengan sipir Lapas," ucap Aman menambahkan.
Aman juga mengatakan, hanya satu kasus terorisme yang diketahui yaitu kasus bom Thamrin.
Ia membaca melalui portal pemberitaan online.
Menurutnya, saksi kunci kasus tersebut yakni Abu Gar sudah menjelaskan di dalam kesaksiannya, bahwa Aman di tidak mengetahui apapun perihal aksi teror bom di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat.
3. Aman Abdurahman Tantang Hakim Jatuhkan Vonis Mati
Terdakwa kasus teror bom Thamrin Aman Abdurrahman menjalani sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (18/5/2018).
Ia dituntut hukuman mati oleh jaksa penuntut umum (JPU) karena dianggap sebagai pihak yang bertanggung jawab saat aksi teror di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, awal 2016.
Terdakwa perkara bom Thamrin, Aman Abdurrahman, menyatakan siap jika majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan vonis mati terhadap dirinya sesuai tuntutan jaksa.
Pernyataan tersebut diungkapkan, Aman dalam nota pembelaannya atau pleidoi di PN Jaksel, Jln Ampera Raya, Jakarta, Jumat (25/5/2018).
Aman justru menantang Majelis Hakim untuk menjatuhkan hukuman mati terhadapnya.
Aman mengaku tidak takut terhadap segala hukuman yang dinilainya zalim.
"Mau vonis seumur hidup silahkan atau kalian vonis mati silahkan juga. Jangan ragu atau berat hati. Tidak ada sedikit pun saya gentar dan rasa takut dalam hati saya dengan hukuman zalim kalian ini," ujar Aman dalam pleidoinya.
Menurutnya, peradilan yang dijalaninya merupakan konspirasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dan dunia.
Dia yakin bahwa dirinya sedang didzalimi oleh para penguasa di Indonesia.
"Dihatiku hanya bersandar pada penguasa dunia dan akherat. Dan apa yang kalian lakukan akan dibalas Allah SWT didunia dan akhirat," tegas Aman.
4. Aman Cerita Pernah Ditemui WNA Sri Lanka
Saat membacakan nota pembelaan, Aman sedikit menyelipkan cerita saat dirinya ditahan di Rutan Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, pada tanggal 21 Desember 2017.
Aman menuturkan, dirinya kedatangan tamu bernama Profesor Rohan asal Sri Lanka, yang mengaku bekerja untuk negara Singapura dan bekerjasama dengan pemerintah Indonesia, dalam bidang pengkajian gerakan Islam.
Profesor Rohan yang merupakan Warga Negara Asing (WNA) itu datang, didampingi seorang penerjemah bahasa, dan juga beberapa perwira pertama dan menengah dari satuan Densus 88.
"Saya diwawancarai olehnya dari pukul 10.30 WIB hingga pukul 17.15 WIB, membahas perihal tauhid,syirik hukum, pemerintahan yang ada, khilafah dan hijriah, dan saya jelaskan sesuai dengan apa yang pegang selama ini," kata Aman kepada Majelis Hakim, Jumat (25/5/2018).
Tidak selesai sampai disitu, keesokan harinya tim rombongan tersebut datang kembali menemui Aman, membawa perlengkapan dan peralatan syuting film.
Aman mengatakan dirinya kembali diwawancara dan sambil didokumentasikan, dari pukul 10.30 WIB hingga pukul 11.30 WIB oleh Profesor Rohan.
Dalam wawancara yang direkam melalui kamera video tersebut, Aman ditanya perihal buku-buku dan rekaman video kajian, yang disebarkan selama ia di penjara dan juga di luar penjara.
Ketika selesai, rombongan tersebut segera membubarkan diri dan berjanji akan kembali lagi, pada pukul 13.30 WIB.
Singkat cerita, akhirnya Profesor Rohan kembali datang menemui Aman pada pukul 17.00 WIB, dan tanpa basa-basi langsung mengajukan tiga pertanyaan kepadanya.
Pertanyaan pertama, Aman ditanya bagaimana jika pemerintah menawarkan untuk berkompromi.
Bila Aman menerima tawaran tersebut maka akan langsung dibebaskan, bila tidak maka akan dipenjara seumur hidup.
Kemudian, dirinya menjawab tidak akan menerima tawaran tersebut, karena dirinya percaya akan keluar dari penjara dalam keadaan mati syahid, ataupun keadaan hidup dan menjadi pemenang memegang prinsipnya.
Kedua, Aman diberikan pertanyaan untuk diajak jalan-jalan ke Museum Indonesia, karena Presor Rohan mengaku bahwa dirinya pengagum sejarah Indonesia.
Seperti jawaban pertanyaan pertama, Aman kembali menolak tawaran tersebut dan mengatkan tidak mau menerima ajakannya.
Tiba di pertanyaan ketiga dan terakhir, Profesor menawarkan Aman untuk pergi keluar dan makan malam bersama.
Kembali lagi, aman memberikan jawaban yang sama, yaitu menolak mentah-mentah tawaran tersebut.
"Setelah tiga pertanyaan tersebut saya tolak, mereka langsung pamit untuk pergi," tukas Aman di persidangan.
Menurut Aman, pertanyaan nomor dua dan tiga merupakan jebakan, yang akan bisa merusak prinsipnya.
Terakhir ia mengatakan, bahwa dirinya sempat disebut oleh Profesor Rohan, sebagai orang paling berbahaya di Asia Tenggara.
"Sehabis wawancara, dia sebut saya sebagai orang paling berbahaya di Asia Tenggara," papar Aman Abdurrahman.
5. Aman Abdurrahman Pelaku Bom Surabaya Sakit Jiwa
Terdakwa perkara bom Thamrin, Aman Abdurrahman, dalam pledoinya mengutuk aksi teror yang terjadi di Surabaya, Jawa Timur, beberapa saat lalu.
Menurut pendiri Jamaah Ansharut Daulah itu tindakan bom bunuh diri yang melibatkan anak-anak tersebut sama sekali tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Dirinya menilai para pelaku merupakan orang yang sakit jiwa.
“Itu tindakan yang enggak mungkin muncul dari orang yang mengerti ajaran Islam. Ayah mengorbankan anak-anaknya, ibu bersama anaknya melakukan bunuh diri adalah orang-orang sakit jiwanya dan putus asa,” ujar Aman dalam pleidoi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jln Ampera Raya, Jakarta, Jumat (25/5/2018).
Selain itu, Aman juga menyebut bom bunuh diri yang dilakukan di depan Polrestabes Surabaya sebagai tindakan yang keji.
"Tindakan itu merupakan tindakan keji dengan dalih jihad," tegas Aman.
6. Aman Acungan Jari Telunjuk Aman Usai Bacakan Nota Pembelaan
Usai membacakan nota pembelaannya yang diringkas dari 60 halaman kertas, Aman Abdurrahman terdakwa teroris bom Thamrin menunjukan gelagat yang tidak terduga.
Hal ini ia lakukan, usai mengembalikan kertas nota pembelaannya tersebut kepada Majelis Hakim.
Ketika berbalik badan dari hadapan Majelis Hakim untuk kembali menuju kursi dakwaannya, Aman terlihat mengacungkan jari telunjuk tangan kanannya ke atas.
Hal ini ia lakukan dengan sorot mata tajam, tanpa ada satu patah pun perkataan yang diucapkan olehnya.
Sontak, hal ini menimbulkan tanda tanya dari para hadirin yang mengikuti persidangan tersebut.
Tidak sedikit dari hadirin yang melihat langsung kejadian tersebut, bertanya-tanya apa sebenernya maksud dibalik acungan jari telunjuk tangan kanannya.
Di persidangan terlihat, Aman mengenakan penutup kepala yang diikat ke belakang, serta pakaian tertutup sepanjang dengkul kakinya.
Seperti diketahui, Aman dituntut hukuman mati oleh JPU. Dia disebut memenuhi seluruh dakwaan yang disusun JPU, yakni dakwaan kesatu primer dan dakwaan kedua primer.
Dakwaan kesatu primer yakni Aman dinilai melanggar Pasal 14 juncto Pasal 6 Perppu Nomor 1 Tahun 2002 yang telah ditetapkan menjadi UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana dakwaan kesatu primer.
Sementara dakwaan kedua primer, Aman dinilai melanggar Pasal 14 juncto Pasal 7 Perppu Nomor 1 Tahun 2002 yang telah ditetapkan menjadi UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Aman dalam perkara tersebut didakwa sebagai sebagai aktor intelektual lima kasus teror, yaitu Bom Gereja Oikumene di Samarinda pada 2016, Bom Thamrin (2016). Selain itu, Aman juga terkait Bom Kampung Melayu (2017) di Jakarta, serta dua penembakan polisi di Medan dan Bima (2017). Dia terancam pidana penjara lebih dari 15 tahun atau hukuman mati.
Dalam tuntutannya JPU menyebut tak ada hal yang meringankan. Alih-alih meringankan Aman disebut malah memiliki sedikitnya enam hal memberatkan.
Selain kasus tersebut, Aman pun pernah divonis bersalah pada kasus Bom Cimanggis pada 2010, Densus 88 menjerat Aman atas tuduhan membiayai pelatihan kelompok teror di Jantho, Aceh Besar, kasus yang menjerat puluhan orang, termasuk Abu Bakar Ba'asyir. Dalam kasus itu Aman divonis sembilan tahun penjara. (Tribunnews.com/TribunJakarta.com)