UU Antiterorisme Disahkan, Teroris Bisa Disadap Tanpa Izin Pengadilan
DPR akhirnya mengesahkan Revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (RUU Antiterorisme) menjadi UU.
Penulis: Taufik Ismail
Editor: Dewi Agustina
Menurutnya pada saat itu pansus beranggapan bahwa aksi teror yang melibatkan anak bisa terjadi di Indonesia.
Hal tersebut kemudian terbukti pada serangan bom di gereja Surabaya.
"Awalnya kita pikir mungkin ini (aksi teror libatkan anak-anak) bisa terjadi di Indonesia dan nyatanya terjadi juga kan. Itu semangat pansus dari munculnya pasal 16A itu," katanya.
Baca: ABG Pembunuh Bocah 5 Tahun Sakit Hati kepada Ibunda Korbannya
Hak Korban
Dalam RUU yang baru disahkan menjadi undang-undang itu mengatur enam hak korban, yakni pemberian hak berupa bantuan medis, rehabilitasi psikologis, rehabilitasi psikososial, santunan bagi korban meninggal dunia, pemberian restitusi dan kompensasi.
Sebelumnya hanya dua hak korban yang diatur di UU yang lama, yaitu kompensasi dan restitusi.
"Pemberian hak korban yang semula hanya mengatur mengenai kompensasi dan restitusi saja kini lebih komprehensif," ujar Ketua Pansus RUU Antiterorisme Muhammad Syafi'i.
Seluruh ketentuan terkait hak korban tersebut diatur dalam empat pasal.
Hak bantuan medis, rehabilitasi psikologis, rehabilitasi psikososial, santunan bagi korban meninggal dunia diberikan sesaat setelah terjadinya tindak pidana terorisme.
Pemberian bantuan dilaksanakan oleh lembaga yang menyelenggarakan urusan di bidang pelindungan saksi dan korban serta dapat bekerja sama dengan instansi atau lembaga terkait.
Sementara, hak atas restitusi dan kompensasi merupakan ganti kerugian yang diberikan oleh pelaku kepada korban atau ahli warisnya.
Selain itu, UU Antiterorisme mengatur pula pemberian hak bagi korban yang mengalami teror sebelum UU tersebut disahkan.
Muhammad Syafi'i juga menuturkan bahwa dalam penangkapan dan penahanan, seorang terduga teroris maupun tersangka harus diperlakukan secara manusiawi.
"Menambah ketentuan bahwa dalam melaksanakan penangkapan dan penahanan tersangka pidana terorisme harus dilakukan dengan menjunjung prinsip HAM," ujar Syafi'i.
Pasal 25 ayat (7) UU Antiterorisme menyatakan, pelaksanaan penahanan tersangka tindak pidana terorisme harus dilakukan dengan menjunjung tinggi prinsip hak asasi manusia.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.