Kisah di Balik Devosi Kebangsaan “Maria - Bunda Segala Suku”
Diawali dari Keuskupan Agung Jakarta (KAJ), devosi terkini kepada Bunda Maria menyebar ke seluruh Indonesia dalam saat yang tidak pernah bisa
Penulis: FX Ismanto
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fx Ismanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Diawali dari Keuskupan Agung Jakarta (KAJ), devosi terkini kepada Bunda Maria menyebar ke seluruh Indonesia dalam saat yang tidak pernah bisa diduga sebelumnya. “Maria - Bunda Segala Suku” adalah sebutan istimewa untuk Bunda Maria dan disebut fenomenal karena terkait dengan merebaknya ancaman terhadap keutuhan kebangsaan dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Di dunia ini, tidak ada yang kebetulan,” tegas Uskup Agung Jakarta, Mgr. Suharyo Pr dalam pidatonya saat memberi penghargaan kepada pemenang lomba seni rupa, patung dan fotografi dengan thema “Maria, Bunda Segala Suku”, pada 22 Mei 2017 lalu. Pengumuman pemenang sayembara lomba lukis, patung dan fotografi seharusnya dilakukan pada 30 Mei 2016 atau setahun setelah pembukaan resminya pada 30 Mei 2015. Namun , dengan berbagai alasannya. Pengumuman baru terjadi pada 22 Mei 2017, ketika Indonesia terpolarisasi berlatarbelakang agama ketika Pilkada DKI Jakarta berlangsung.
“Tidak ada suatu yang kebetulan. Mengapa lomba ini harus terundur dua tahun baru kita ketahui setelah kita memasuki masa sulit dalam membangun kerukunan karena toleransi menjadi masalah kehidupan berbangsa. Dan Maria Bunda Segala Suku adalah jawaban dan hadir ketika Indonesia berada pada masa suli seperti sekarang ini, ” ujar Uskup Agung Jakarta, Mgr I. Suharyo Pr, seperti yang ditirukan oleh Gregorius Gomas Harun, pencetus ide Lomba Seni Rupa, Patung dan Fotografi bertajuk “Maria – Bunda Segala Suku”.
Gomas mengisahkan, lomba yang dibuka tahun 2015 berangkat dari janjinya untuk membaktikan diri kepada Bunda dengan caranya. Maka, jadilah ide membuat lomba tersebut sebagai sarana untuk mengumpulkan berbagai karya seni berthemakan Bunda Maria yang merupakan hasil karya anak bangsa dengan bertitik tolak pada budaya masing-masing suku. Menurutnya, hasil karya hasil lomba tersebut nanti akan ditempatkan pada sebuah museum yang sekarang telah memasuki tahap perencanaan.
Oleh karena itu, dalam rangka mewujudkan idenya tersebut, ia meminta beberapa tokoh awam Gereja Katolik untuk duduk dalam kepanitiaan. Panitia itu antara lain terdiri dari, Laksda TNI (Pur) Christina Maria Rantetana, M. Hanafi, Antonius Sunyata, Harry Sanjaya dan AM Putut Prabantoro serta masih banyak yang lain.
“Thema lomba Maria – Bunda Segala Suku (MBSS) diusulkan oleh sahabat saya, Putut Prabantoro. Dari ceritanya, nama Maria - Bunda Segala Suku sebenarnya merupakan thema sebuah acara kebangsaan untuk memperingati Hari Sumpah Pemuda di Sendang Sono, Yogyakarta yang rencananya diadakan pada Oktober 2010. Namun acara Sumpah Pemuda di Sendang Sono, Yogyakarta itu akhirnya batal karena beberapa alasan termasuk di antaranya adalah beberapa Uskup yang dihubungi menyatakan tidak dapat hadir mengingat sudah ada jadwal pertemuan para Uskup di Jakarta. Oleh karena itu, acara peringatan hari Sumpah Pemuda itu dibatalkan oleh Putut Prabantoro, yang menjadi Ketua Panitia acara tersebut,” kisah Gomas.
Namun pembatalan acara di Sendang Sono, Yogyakarta tersebut, Gomas melanjutkan kisahnya, bagi Putut Prabantoro diyakini sebagai campur tangan Tuhan mengingat kemudian pada Oktober 2010, Gunung Merapi meletus hebat yang menewaskan 353 orang termasuk mbah Marijan. Thema “Maria – Bunda Segala Suku” ternyata menjadi terwujud dalam konteks yang berbeda namun sangat terkait erat dengan Sumpah Pemuda.
MINTA IJIN
Sudah merupakan tradisi dalam setiap kegiatan besar yang menyangkut keagamaan Katolik, diperlukan restu dari pimpinan Gereja Katolik setempat. Oleh karena itu, dipimpin oleh Antonius Sunyata dan Laksda TNI (Pur) Christina Maria Rantetana, pertama kali menghadap Uskup Agung Jakarta, Mgr. I. Suharyo Pr, Uskup Agung Semarang Mgr. Y. Pujasumarta Pr dan Julius Kardinal Darmaatmadja SJ.
Pada Sabtu, 30 Mei 2015 secara resmi lomba lukis, patung dan photografi dibuka secara resmi di Ganjuran, Bantul, Yogyakarta oleh Mgr. Johannes Maria Pujasumarta Pr. Ganjuran memang dipilih oleh Mgr Pujasumarta sebagai tempat dibukanya lomba yang bertumpu pada kekayaan budaya masing-masing suku. Mengingat lomba ini tidak hanya terbatas bagi semina Katolik saja, hadir dalam acara pembukaan itu antara lain, I Wayan Sumerta dari Hindu, Bante Badra Palu dari Budha, Fu Kwet Khiong dari Gereja Santapan Rohani Indonesia (GSRI) Jakarta, juga DR Kardi Laksono dari Institut Seni Yogyakarta (ISI), Vikaris Episkopalis (VIKEP) Jogyakarta, Saryanto Pr dan Sr Gemma OP.
“Hanya sayang dalam perjalanan lomba ini, kami kehilangan dua orang yang sangat kami hormati dan cintai yakni, Ketua Panita, Ibu Christina Maria Rantetana dan Uksup Agung Semarang, Mgr. Y. Pujasumarta Pr. Ini juga merupakan salah satu alasan terkendalanya progres lomba,” ujar Gomas, yang sehari-harinya adalah konsultan supermarket bahan bangunan.
Sebagai pemenang lomba adalah, Robert Gunawan, seorang guru lukis anak-anak yang berasal dari Matraman, Jakarta. Berdasarkan penjelasan dari Robert Gunawan, sebagaimana dikutip oleh Gomas Harun, dalam lukisan Maria - Bunda Segala Suku ini ada beberapa ciri khusus yakni bendera merah putih, motif lambang Garuda Pancasila, warna emas, mahkota, kerudung, baju kebaya putih, rok panjang warna merah dan suku-suku.
Merah dan Putih adalah warna dasar Bendera Indonesia yaitu : untuk memperkuat ciri khas Bunda Maria dari Indonesia. Sementara, warna emas ( Gold ) menunjukkan warna etnik macam macam kain di Indonesia ( Batik, tenun macam macam daerah di Indonesia ). Dalam konteks ini warna emas merupakan warna murni dan agung yang bermakna Bunda Maria adalah Bunda Yang Murni ( Bunda Perawan) dan diagungkan oleh umat umat Katholik .
Dalam Mahkota, terdapat peta di Indonesia yang terdapat di tengahnya dan dikelilingi oleh etnik sebagai ukiran ciri khas Indonesia dan terdapatnya rumbai yang menyerupai rumbai yang di pakai ondel ondel untuk memperkuat keberagaman satu kesatuan yang kuat. Sedangkan kerudung merah putih menyerupai bendera Indonesia sebagai lambang NKRI dan Kebaya Putih bermotif Garuda Pancasila yang memperkuat arti Kebhinnekaan Tunggal Ika. Sementara rok panjang warna merah merupakan kombinasi antara tenunan Papua , Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi merupakan perwakilan dari persatuan Negara Indonesia dalam perbedaan.
Adanya awan mendung berwarna biru kehitaman atau awan gelap serta simbol Rosario yang dibawa para suku menunjukkan kegiatan yang pada umumnya dilaksanakan pada malam hari dan sekaligus menunjukkan Bunda Maria merupakan Penerang di saat Indonesia dalam kegelapan. Sedangkan orang-orang yang mengenakan pakaian adat merupakan perwakilan suku dari Sabang hingga Merauke yang dipersatukan dalam devosi kepada Bunda Maria melalui doa rosario.
Secara keseluruhan, Maria – Bunda Segala Suku menggambarkan Bunda Maria sebagai penerang yang dapat menyatukan semua perbedaan antar suku bangsa.
“Meski tidak nampak semua suku secara detil dan menyeluruh dalam lukisan ini, namun lukisan ini secara filosofis dan budaya ingin menjelaskan Maria adalah Bunda segala suku. Berapa besar Indonesia? Jika ditarik garis diagonal dari Sabang ke Merauke, itu sama saja dengan garis diagonal dari London Ke Ankara. Sepanjang garis diagonal itu, Indonesia memiliki 17.499 pulau, terdiri dari 1.340 suku bangsa dan memiliki 740 bahasa daerah yang aktif,” urai Gomas lebih lanjut.
Dengan kekayaan yang luar biasa seperti ini, pria kelahiran Jakarta ini mengatakan, Indonesia menghadapi tantangan utama yakni persatuan sebagai bangsa dengan berbagai latar belakangnya termasuk agama, suku, ras dan budaya. Sehingga tidak mengherankan jika kemudian para pendiri negara memilih Bhinneka Tunggal Ika menjadi motto Bangsa Indonesia. Oleh karena itu kehadiran Maria sebagai Bunda Segala Suku untuk mengingatkan bangsa Indonesia bahwa Indonesia merupakan anugerah bagi seluruh suku bangsa yang ada di Indonesia dan harus dirawat dijaga persatuannya. (*)