Anggota Majelis Hakim Beda Suara Soal Kasus yang Menjerat Edward Soeryadjaya
Hanya Hakim Joko Subagyo, yang menilai dakwaan jaksa penuntut umum Kejari Jakarta Pusat terhadap terdakwa Edward, seharusnya dibatalkan demi hukum.
Penulis: Theresia Felisiani
Editor: Willem Jonata
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Lima anggota majelis hakim yang menyidangkan kasus dugaan korupsi pengelolaan dana pensiun PT Pertamina (Persero) dengan terdakwa Edward Soeryadjaya, Direktur Ortus Holding Ltd, beda suara atau tidak kompak.
Hanya Hakim Joko Subagyo, yang menilai dakwaan jaksa penuntut umum Kejari Jakarta Pusat terhadap terdakwa Edward, seharusnya dibatalkan demi hukum.
Perbedaan pendapat Joko Subagyo dari empat anggota majelis hakim lainnya disampaikan, saat membacakan putusan sela perkara Edward di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (6/6/2018).
Dalam pertimbangan hukumnya, Joko Subagyo berpendapat dakwaan jaksa penuntut umum harusnya batal karena ada putusan praperadilan dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang menyatakan penetapan status tersangka Edward dan surat perintah penyidikan tidak sah.
Meski begitu, sidang perkara ini tetap dilanjutkan karena empat hakim lainnya menyatakan surat dakwaan jaksa penuntut umum sah dan sesuai dengan KUHAP.
Kuasa hukum Edward, Bambang Hartono mengatakan kecewa karena dia merasa putusan majelis hakim tidak adil bagi kliennya.
'Putusan yang benar itu menurut saya adalah hakim ad hoc Pak Joko, dia merinci, jadi kapan diajukan praperadilan, kapan diputuskan, kapan berkas perkara dinaikkan," tegasnya.
Point yang telak dijelaskan Bambang adalah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 102 tahun 2016 yang menyatakan proses praperadilan gugur apabila dakwaan sudah dibacakan pertama kalinya.
Di kasus ini, putusan praperadilan diketok pada 23 April 2018, sebelum dakwaan dibacakan di Pengadilan Tipikor Jakarta pada 16 Mei 2018.
Atas kejanggalan ini, lanjut Bambang, tim kuasa hukum akan mengirim surat pada pihak berwenang diantaranua Mahkamag Agung untuk mengkaji putusan karena putusan praperadilan adalah putusan yang harus dihormati dan dijalankan.
"Kami akan banding, tapi nanti dengan putusan pokok perkara," tambah Bambang.
Diketahui Kejagung awalnya menetapkan Edward sebagai tersangka dan disangkakan melanggar Pasal 2 ayat 1, Pasal 3 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Edward yang juga putra tertua mendiang Wiliam Soeryadjaya, pendiri Grup Astra ini kemudian mengajukan praperadilan di PN Jaksel, hasilnya hakim tunggal menerima praperadilan dan menyatakan status Edward tidak sah.
Putusan praperadilan tersebut menjadi polemik karena jaksa telah melimpahkan perkara pokok ke Pengadilan Tipikor Jakarta.
Selama ditahan oleh Kejaksaan Agung, sejak 20 November 2017, Edward sudah dua kali dibantarkan karena alasan kesehatan.
Pertama awal Januari 2018, dibantarkan karena jatuh di kamar mandi Rutan Salemba cabang Kejagung. Kedua pada awal Maret 2018 dibantarkan ke RSPP karena sakit.(*)