Wartawan Tewas di Tahanan, PPHI Desak Dewan Pers dan Propam Turun Tangan
Perhimpunan Praktisi Hukum Indonesia (PPHI) pun mendesak Dewan Pers dan Propam Polri turun tangan.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Seorang wartawan di Kalimantan Selatan, Muhammad Yusuf, dikabarkan tewas di Lapas Kelas II B Kotabaru. Dia tewas saat disidik Polres Kotabaru terkait pemberitaan. Namun penyebab kematian belum diketahui.
Perhimpunan Praktisi Hukum Indonesia (PPHI) pun mendesak Dewan Pers dan Propam Polri turun tangan.
“Dewan Pers dan Propam harus turun tangan untuk mengusut penyebab kematian jurnalis itu sekaligus menemukan siapa pihak yang harus bertanggung jawab,” ungkap Ketua Umum PPHI Tengku Murphi Nusmir SH MH dalam rilisnya, Rabu (13/6/2018).
Dewan Pers, kata Murphi, harus turun tangan karena kasus yang menyebabkan Yusuf masuk penjara adalah sengketa pemberitaan. “Sesuai UU Pers (Undang-undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers, red), sengketa menyangkut pers mestinya diselesaikan lewat Dewan Pers, bukan di kantor polisi dengan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, red).
Kerja wartawan itu dilindungi UU Pers yang merupakan lex specialis (norma khusus). Sebagai lex specialis, UU Pers mestinya lebih dikedepankan daripada KUHP yang merupakan lex generalis(norma umum),” jelas Murphi yang juga anggota Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi).
Bila perlu, lanjut Murphi, Dewan Pers membentuk tim investigasi untuk menyelidiki penyebab kematian Yusuf dengan melibatkan praktisi dan ahli. “Bila kematiannya akibat kekerasan, tentu sangat ironis dan sebuah setback(kemunduran). Hari gini kok masih ada kekerasan terhadap jurnalis. Jurnalis adalah pejuang demokrasi. Kita prihatin dan mengecam keras kasus kematian jurnalis ini,” paparnya.
Adapun Bidang Profesi dan Pengamanan (Propam) Mabes Polri atau Polda Kalimantan Selatan, kata Murphi, perlu turun tangan bila dugaan penyebab kematian Yusuf karena kekerasan yang dilakukan oleh polisi atau penyidik.
“Kalau penyidik melakukan kekerasan dalam menggali keterangan saksi atau tersangka, tentu harus berhadapan dengan Propam. Ini diatur dalam KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, red). Kalau terbukti ada kekerasan, Propam harus mengambil tindakan tegas terhadap terduga pelakunya,” terang pria low profile kelahiran Palembang 1 Desember 1960 ini.
Murphi juga mendesak Kepolisian Daerah Kalimantan Selatan segera mengumumkan penyebab kematian Yusuf. “Bila tidak, patut diduga ada yang ditutup-tutupi. Bila ditutup-tutupi, tak ada alasan bagi Dewan Pers dan Propam untuk tidak segera turun tangan,” tandasnya.
Sementara itu, dalam rilisnya, Senin (11/6/2018), Dewan Pers menyatakan mendiang Muhammad Yusuf ternyata sudah lebih dulu ditahan Polres Pekanbaru karena sengketa pemberitaan. Namun, Dewan Pers menyatakan tidak pernah menyarankan atau membolehkan Yusuf ditahan.
"Dewan Pers tidak pernah menerima pengaduan dari pihak-pihak yang dirugikan oleh berita yang dibuat Muhammad Yusuf," tulis Ketua Dewan Pers Yoseph Adi Prasetyo dalam keterangan pers yang dikutip berbagai media itu.
Menurut Stanley, panggilan akrab Yoseph, Dewan Pers baru tahu bahwa Muhammad Yusuf ditangkap setelah Kapolres Kotabaru AKBP Suhasto mengirim surat permintaan keterangan ahli pada 28 Maret lalu. Polres Kotabaru juga mengutus tiga penyidik mereka sehari kemudian, untuk meminta keterangan ahli Sabam Leo Batubara.
Ternyata, penyidik membawa bukti salinan pemberitaan yang ditulis mendiang Yusuf sebanyak 23 artikel, masing-masing dimuat di situswww.kemajuanrakyat.co.id, danwww.berantasnews.com.
Polisi mempermasalahkan artikel itu. Sedangkan ahli dari Dewan Pers menyatakan sejumlah pemberitaan itu dianggap cacat, lantaran tidak memenuhi persyaratan seperti tidak berimbang, beropini, narasumber tidak jelas dan tidak kredibel. Namun, ternyata di dalam perjalanannya, Yusuf meninggal saat ditahan polisi.