Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

BDNI Masuk Daftar Bank Tak Sehat di Tahun 1998

Berdasarkan laporan perusahaan akunting yang ditunjuk oleh pemerintah waktu itu, stock debet BDNI mencapai Rp166,3 miliar

Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
zoom-in BDNI Masuk Daftar Bank Tak Sehat di Tahun 1998
Tribunnews.com/Ilham Rian Pratama
Suasana sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Kepala Bank Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Iwan Ridwan Prawinata menjelaskan, Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) masuk dalam daftar 54 bank tidak sehat pada tahun 1998.

Berdasarkan laporan perusahaan akunting yang ditunjuk oleh pemerintah waktu itu, stock debet BDNI mencapai Rp166,3 miliar.

Baca: Dikira Razia, Ternyata Pemudik Motor Diminta Pijat Gratis di Sukamandi

Stok debet atau penarikan dana oleh nasabah, menurut Iwan mempengaruhi stabilitas keuangan BDNI sebab kredit atau aset lebih kecil ketimbang jumlah debet sehingga bank yang dimiliki oleh Sjamsul Nursalim itu masuk ke daftar bank tidak sehat.

"Saldo debet BDNI setelah 31 Desember 1997 berdasarkan perusahaan akunting, saldo debet pada 5 Januari 1998 sebesar Rp166,3 miliar dan berlanjut sampai bank tersebut di TO (take over) kan. (Penyebabnya) Terjadinya adanya penarikan tunai dan transfer dan kekalahan BDNI dalam kliring," ujar Jaksa Penuntut Umum (JPU) saat membacakan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) milik Iwan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Kemayoran, Jakarta Pusat, Kamis (21/6/2018).

Iwan menjelaskan, setelah BPPN melakukan audit BDNI masuk dalam kategori bank Take Over.

Artinya segala transaksi keuangan bank tersebut diawasi, termasuk pejabat bank.

BERITA REKOMENDASI

Dia menuturkan, saat proses take over komisaris beserta direktur bank diberhentikan sementara dan digantikan dengan orang-orang pilihan BPPN.

"Kegiatan perbankan diawasi oleh bank yang lain tugas komisaris diberhentikan dan diganti komisaris pengganti yang ditunjuk BPPN," tutur Iwan.

Sementara dalam situasi krisisi, pemerintah rezim Soeharto mengeluarkan beberapa kebijakan yang intinya tidak boleh ada penutupan bank demi menjaga likuiditas.

Atas kebijakan itu, Bank Indonesia melalui BPPN menyalurkan sejumlah dana ke beberapa bank tidak sehat, termasuk BDNI.

Lebih lanjut, Iwan mengatakan pernah bertemu dengan Sjamsul Nursalim saat proses gonjang-ganjing perbankan nasional.

Dalam pertemuan tersebut, pihak BPPN meminta penjelasan Sjamsul perihal langkah-langkah penyehatan bank miliknya, menyusul adanya saldo debet.

Saat itu, Sjamsul mengatakan pihaknya akan menutup saldo debet dengan menjual perusahaannya yang ada di Amerika.

"(BPPN) Minta penyelesaian saldo debet. (Sjamsul) mengusahakan menutup saldo debet dan mengatakan akan menjual perusahaannya yang di Amerika," kata Iwan.

Diketahui dalam kasus ini BDNI merupakan obligor terhadap BLBI melalui BPPN sebagai penyalurnya.

Dalam prosesnya, BDNI dengan kepemilikan saham terbesar adalah Sjamsul Nursalim dianggap misrepresentatif karena membebankan piutang ke petani tambak PT Dipasena, Darmaja dan PT Wachyuni Mandira yang tidak mampu menyelesaikan kewajiban utang.

Sjamsul pun diwajibkan bertanggung jawab membayar Rp4,58 triliun sebagaimana aset yang dilimpahkan BDNI ke perusahaan tambak tersebut.

Baca: Lahirkan Bayi Perempuan, PM Selandia Baru Ambil Cuti Melahirkan

Namun, belum selesai Sjamsul menyelesaikan kewajibannya, Syafruddin menerbitkan Surat Keterangan Lunas (SKL) terhadap BDNI.

Ia pun didakwa melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 undang-undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas