Klaim Kemenangan NasDem di Pilkada Dinilai Hanya untuk Tutupi Elektabilitas yang Turun
Partai NasDem mengklaim sebagai partai politik yang paling banyak memenangkan pilkada serentak 2018.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Partai NasDem mengklaim sebagai partai politik yang paling banyak memenangkan pilkada serentak 2018.
Klaim besar-besaran NasDem lewat jejaring media yang berafiliasi dengannya tidak mengherankan, jika melihat elektabilitas partai tersebut yang belakangan jeblok.
“Survei Litbang Kompas April 2018 menunjukkan elektabilitas NasDem hanya 2,5 persen atau di bawah ambang batas parlemen 4 persen. Jadi wajar klaim kemenangan di pilkada dipublikasikan besar-besaran agar mempengaruhi pemilih,” kata Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago, di Jakarta, Senin (2/7/2018).
“Seolah-olah suara partai ini (NasDem) sudah besar karena berhasil memenangkan banyak pilkada. Padahal tidak, pilkada itu kan memilih figur, bukan partai,” imbuhnya.
Pangi menjelaskan, memang banyak faktor yang memengaruhi keterpilihan pasangan calon (paslon) dalam pilkada. Misalnya branding, isu dan program, mesin parpol dan figur. “Tapi kebanyakan itu utamanya karena figur,” ujarnya.
Secara khusus, Pangi menyoroti sejumlah parpol menengah, seperti NasDem, yang langsung mengklaim kemenangan paslon yang diusung, meski yang terpilih menurut hasil hitung cepat, bukanlah kadernya.
“Problemnya parpol papan tengah ini sudah main klaim langsung saja kalau menang. Oke, ada parpol yang kerja, tapi figur dominan lebih kuat,” tegasnya lagi.
“Yang berbahaya, parpol papan tengah hanya disewa perahunya oleh calon yang populis. Jadi itu bukan prestasi parpol tengah,” ujarnya.
Jika kemenangan dilihat dari banyaknya kader yang menjadi kepala daerah/wakil kepala daerah, kata Pangi, parpol-parpol papan atas seperti PDIP dan Golkar masih berada di posisi teratas.
“Parpol atas seperti PDIP dan Golkar dibilang seakan sudah keok karena paslon yang didukung tidak banyak menang, itu kurang tepat. Karena yang harusnya dilihat, yang terpilih itu kader partai mana?” ujarnya.
Pangi secara khusus menyoroti paslon yang diklaim parpol menengah di sejumlah pilkada provinsi.
“Apa kader yang menang itu sudah mereka NasDem-kan? Atau Hanura-kan? Misal di Sumut, Edy dan Musa itu bukan parpol siapapun. Begitupun di Jatim, Khofifah tak bisa diklaim kader NasDem atau Demokrat. Begitupun di Jabar, RK tak bisa diklaim Nasdem, Hanura, atau PKB,” ujarnya.
Pangi melanjutkan, hal yang berbeda tentunya terjadi di Pilgub Jateng yang dimenangkan oleh Ganjar Pranowo dan Taj Yasin. “Ganjar memang PDIP. Itu konkret. Jadi parpol papan tengah dan bawah jangan jumawa,” ujarnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.