KPK Akui Kesulitan Tangani Korupsi Heli AW-101
Febri Diansyah mengakui penyidiknya kesulitan menangani kasus dugaan korupsi pengadaan Helikopter AgustaWestland (Heli AW-101).
Penulis: Theresia Felisiani
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Febri Diansyah mengakui penyidiknya kesulitan menangani kasus dugaan korupsi pengadaan Helikopter AgustaWestland (Heli AW-101).
Bentuk hambatan yang dialami penyidik, lanjut Febri adalah pihaknya kesulitan memeriksa saksi-saksi yang diduga mengetahui pengadaan Heli AW-101.
Pasalnya dari sejumlah panggilan yang dilayangkan, banyak saksi yang mangkir.
"Penyidik KPK terhambat menangani kasus ini karena kesulitan memeriksa saksi-saksi yang mengetahui peristiwa pengadaan Heli tersebut, dan juga audit BPK yang belum selesai," terang Febri, Selasa (3/7/2018) di KPK, Kuningan, Jakarta Selatan.
Baca: Mantan KSAU Singgung Gatot Nurmantyo Ihwal Kasus Korupsi Heli AW-101
Febri melanjutkan, khusus hari ini, KPK mengagendakan pemeriksaan pada 8 perwira menengah sebagai saksi. Namun delapan saksi ini tidak ada yang hadir padahal sebelumnya, KPK telah berkoordinasi dengan POM TNI dalam penanganan perkara.
"Semua saksi tidak hadir, kami di KPK maupun POM TNI belum mendapat konfirmasi alasan ketidakhadiran," tambah Febri.
Dalam kasus ini, KPK bahkan sempat memeriksa mantan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Agus Supriatna pada 6 Juni 2018. Agus yang memenuhi panggilan penyidik KPK mengaku menjelaskan proses pengadaan Helikopter.
Usai diperiksa, Agus menyatakan dirinya tidak ingin membuat gaduh kasus ini.
Namun karena ia merasa seolah disudutkan dengan pemberitaan, akhirnya Agus membeberkan adanya kesalahan dari pihak lain. Sayangnya dia enggan membocorkan siapa pihak tersebut.
"AW 101 ini harusnya teman-teman juga tahu, coba tanya kepada yang membuat masalah ini, tahu enggak UU APBN. Tahu enggak mekanisme anggaran APBN itu seperti apa. Kalau tahu tidak mungkin melakukan hal ini," tegas Agus di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu 6 Juni 2018 silam.
"Yang kedua, tahu enggak peraturan Menteri Pertahanan Nomor 17 tahun 2011. Kalau tahu tidak mungkin juga melakukan ini. Dan ada juga Peraturan Panglima Nomor 23, itu peraturan Panglima loh, nomor 23 tahun 2012. Kalau memang betul tahu, tidak mungkin juga melakukan hal ini," tambah Agus lagi.
Dalam kasus pengadaan Heli ini, KPK bekerjasama dengan POM TNI mengungkap kasus tersebut. POM TNI menetapan lima tersangka, yakni Marsma TNI FA, Letkol WW, Pelda S, Kolonel Kal FTS, dan Marsda SB.
KPK sendiri menetapkan satu orang, yakni pemilik PT Diratama Jaya Mandiri Irfan Kurnia Saleh. Dalam proses lelang proyek tersebut, Irfan diduga mengikutsertakan dua perusahaan miliknya, PT Diratama Jaya Mandiri dan PT Karya Cipta Gemilang. Hal tersebut terjadi pada April 2016 lalu.
Sebelum proses lelang, Irfan diduga sudah menandatangani kontrak dengan AW sebagai produsen helikopter dengan nilai kontrak USD 39,3 juta atau sekitar Rp 514 miliar. Saat PT Diratama Jaya Mandiri memenangkan proses lelang pada Juli 2016, Irfan menandatangani kontrak dengan TNI AU senilai Rp 738 miliar.