Soal Polemik PKPU 20/2018, Anwar Budiman: Bangsa Ini Butuh Terobosan Hukum
Sebagai lembaga penyelenggara pemilu, kata Anwar, KPU memiliki sifat nasional, tetap, dan mandiri atau independen.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemilihan Umum (KPU), Sabtu (30/6/2018), menerbitkan Peraturan KPU (PKPU) No 20 Tahun 2018 yang melarang eks-narapidana korupsi, bandar narkoba dan kejahatan seksual terhadap anak (pedofilia) maju sebagai calon anggota legislatif (caleg) di Pemilu 2019 sebagaimana disebut Pasal 7 poin 1 huruf h.
Namun, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly tak mau mengundangkannya dalam lembaran negara karena PKPU tersebut dinilai melanggar UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan juga Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 42/PUU-XIII/2015.
“Kalau semua keukeuh pada landasan yuridis formal, ‘tidak jadi itu barang’, karena masing-masing pihak punya penafsiran sendiri-sendiri. Bangsa ini butuh terobosan hukum dan pemikiran,” ungkap praktisi hukum Dr Anwar Budiman SH MH dalam rilisnya, Rabu (4/7/2018).
Niat KPU melarang eks-koruptor, bandar narkoba dan pedofil nyaleg, dinilai Anwar Budiman sangat baik dan patut diapresiasi demi menciptakan parlemen yang bersih dari korupsi, narkoba, dan pedofilia. Namun, katanya, niat baik saja tidak cukup, tetapi harus didukung landasan yuridis yang kuat, jangan sampai menabrak UU.
“Perlu dikaji landasan yuridis KPU menerbitkan PKPU No 20/2018 itu kuat atau enggak?” tanyanya.
Sebagai lembaga penyelenggara pemilu, kata Anwar, KPU memiliki sifat nasional, tetap, dan mandiri atau independen.
Aturan ini tercantum dalam Pasal 22 huruf e ayat (5) UUD 1945 yang kemudian diatur lebih lanjut dengan UU No 15/2011 tentang Penyelenggara Pemilu. “Dari sisi ini klaim Ketua KPU bahwa PKPU No 20/2018 tidak melanggar UU cukup kuat.
Apalagi Presiden Joko Widodo telah menegaskan menghargai independensi KPU sehingga ia tak mau intervensi soal PKPU tersebut,” kata advokat low profile kelahiran Jakarta 1970 ini.
Namun, lanjutnya, di pihak lain ada UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, khususnya Pasal 240 ayat (1) huruf g yang menyatakan, seorang mantan narapidana yang telah menjalani masa hukuman selama lima tahun atau lebih boleh mencalonkan diri selama yang bersangkutan mengumumkan pernah berstatus sebagai narapidana kepada publik.
Pun Putusan MK No 42/PUU-XIII/2015 tertanggal 9 Juli 2015. Putusan itu diketok MK atas permohonan Jumanto dan Fathor Rasyid yang memberikan kuasa kepada Yusril Ihza Mahendra dkk atas Pasal 7 huruf g dan h UU No 8 Tahun 2015 tentang Pilkada.
Pasal 7 huruf g berbunyi, “Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. Pasal 7 huruf h berbunyi, “Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.”
“Lalu apa kata MK? MK memperbolehkan eks-narapidananyaleg dengan syarat, yakni sepanjang tidak dimaknai dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana," ujarnya.
"Artinya, seseorang yang telah menjalani hukuman dan keluar dari penjara atau lembaga pemasyarakatan pada dasarnya adalah orang yang telah menyesali perbuatannya, telah bertobat, dan berjanji untuk tidak mengulangi lagi perbuatannya. Dengan demikian, seorang mantan narapidana yang sudah bertobat tersebut tidak tepat jika diberikan hukuman lagi seperti yang ditentukan dalam Pasal 7 huruf g UU No 8/2015," papar Anwar.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly berpendapat, PKPU No 20/2018 belum berlaku karena belum diundangkan dalam lembaran negara, mengacu pada ketentuan Pasal 87 UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang berbunyi, “Peraturan Perundang-undangan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain di dalam Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan.”
Nah, kata Anwar, di antara dua kutub pendapat itu perlu terobosan hukum dan pemikiran. Terobosan dimaksud, jelas Anwar, misalnya PKPU No 20/2018 dibiarkan berlaku meskipun tidak dicantumkan Menkum HAM dalam lembaran negara, karena di Pasal 87 UU No 12/2011 ada frasa, “Kecuali ditentukan lain di dalam Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan”.
“Bagi pihak-pihak yang merasa tidak puas atau terganggu kepentingannya seperti DPR, bisa mengajukan judicial review (uji materi) PKPU No 20/2018 ke Mahkamah Agung,” terangnya.
Atau sebaliknya, kata Anwar, PKPU No 20/2018 diabaikan, tapi parpol-parpol jangan mengajukan eks-koruptor, bandar narkoba, atau pedofil dalam pendaftaran caleg yang mulai dibuka KPU hari ini, Rabu (4/7/2018) hingga 17 Juli 2018. “Masih banyak orang lain non-eks-koruptor, bandar narkoba dan pedofil yang layak jadi wakil rakyat,” tegasnya.
Memang benar, masih kata Anwar, peraturan di bawahnya tak boleh bertentangan dengan peraturan di atasnya, atau PKPU tak boleh bertentangan dengan UU No 7/2017, seperti juga di UUD 1945 yang mengatur hak asasi manusia (HAM).
“Setiap warga negara berhak melakukan apa pun, tapi perlu diingat ada hak asasi orang lain yang juga tak boleh dilanggar. Artinya, hak asasi seseorang dibatasi hak asasi orang lain. Korupsi, narkoba, dan kejahatan seksual anak adalah extra ordinary crime (kejahatan luar biasa) yang jelas-jelas telah merugikan warga negara," ujarnya.
"Kemudian, apa benar dari hati nurani bahwa penjahat tersebut menyesali semua perbuatannya setelah dipenjara? Siapa yang tahu itu semua? Pelaku kejahatan itu jika tidak tertangkap maka sudah pasti akan terus berjalan dan tidak akan pernah ada pikiran untuk menyesali perbuatannya. Jadi, perlu ada terobosan hukum untuk itu,” dia menambahkan.