HoA yang Diteken Inalum untuk Pembelian Partisipasi di Freeport Rentan Bermasalah
Hal ini perlu mendapat klarifikasi mengingat status binding dan non-binding agreement mempunyai konsekuensi hukum yang berbeda.
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Eko Sutriyanto
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana menilai Heads of Agreement (HoA) yang ditandatangani oleh Inalum, Freeport McMoran dan Rio Tinto pada hari Kamis 12 Juli kemarin menyisakan permasalahan terkait dengan status HoA dan harga pembelian.
"Menurut menteri BUMN pada konperensi pers dinyatakan HoA mengikat. Sementara dalam rilis dari laman London Stock Exchange disebutkan bahwa Rio Tinto melaporkan HoA sebagai perjanjian yang tidak mengikat (non-binding agreement)," ujar Hikmahanto kepada Tribunnews.com, Minggu (15/7/2018).
Menurutnya, hal ini perlu mendapat klarifikasi mengingat status binding dan non-binding agreement mempunyai konsekuensi hukum yang berbeda.
Karena imbuhnya, bila terjadi sengketa atas HoA dan dibawa ke lembaga penyelesaian sengketa maka menjadi pertanyaan apakah HoA hanya merupakan ikatan moral atau ikatan hukum?
Ini tentunya kata dia, bisa melemahkan posisi Inalum.
Selanjutnya, dalam laman London Stock Exchange juga disebutkan bahwa harga penjualan 40% participating Interest disebutkan sebesar 3,5 Milyar Dolar AS.
Baca: Soal Freeport, Ferdinand Hutahaean: Tunggu Dua Bulan ke Depan, Ini akan Jadi Batu Besar bagi Jokowi
Harga tersebut sepertinya setelah memperhitungkan perpanjangan konsesi PT FI hingga 2041.
Dalam hal demikian, saran dia, sebaiknya Inalum tidak melakukan pembelian sebelum keluarnya ijin perpanjangan dari Kementerian ESDM.
Bila tidak maka, tegas dia, manajemen Inalum pada saat ini di kemudian hari ketika telah tidak menjabat dapat diduga oleh aparat penegak hukum telah melakukan tindak pidana korupsi.
Hal ini karena manajemen dianggap telah merugikan keuangan negara.
Kerugian negara dianggap terjadi karena harga pembelian participating interest didasarkan harga bila mendapat perpanjangan.
"Padahal ijin perpanjangan dari Kementerian ESDM pada saat perjanjian jual beli participating interest dilakukan belum diterbitkan," jelasnya.
Baca: Sengkarut Divestasi Saham Freeport: Merugikan Bangsa dan Pemerintah Tidak Berkutik
Perjanjian yang baru ditandatangani PT Inalum selaku holding tambang adalah penandatanganan pokok-pokok perjanjian atau head of agrement (HoA) untuk pembelian partisipasi Rio Tinto di PTFI sebesar 3,85 miliar dolar AS.
Pembayaran sebesar 3,85 miliar dolar AS itu terbagi untuk pembelian saham Rio Tinto di PT FI sebesar 3,8 miliar dolar AS, 3,5 miliar dolar AS dan sisanya 350 juta dolar AS untuk membeli saham Indocopper di PT FI.
Sebelumnya Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Rini Soemarno menyebutkan masih ada beberapa tahapan lagi yang harus dilakukan dalam proses divestasi 51, persens saham PT Freeport Indonesia (PTFI) senilai 3,85 miliar dolar AS.
Menurut Rini, dalam waktu dekat harus dibuat perusahaan gabungan atau joint venture (JV) antara PT Inalum dengan PTFI untuk pengoperasian perusahaan setelah komposisi sahamnya 51 persen dikuasai Inalum dan 49 persen PTFI.
"Belum (selesai), tinggal proses finalisasi mengenai join venture agreement karena ini harus ada JV agreement karena ini PT Freport dan Indonesia menjadi 51-49 persen,tentunya harus ada JV agreement final," kata Rini Soemarno saat ditemui di Kementerian Keuangan, Kamis (12/7/2018).
Setelah itu, Inalum harus juga melakukan pembayaran saham yang kemudian akan diikuti langkah-langkah berikutnya.
Yakni, penerbitan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan aturan perpajakan oleh Kementerian Keuangan.
"Kita langsung tandatangan dan bayar, nah setelah tandatangan dan bayar Pak Jonan dan Ibu Sri Mulyani akan mengeluarkan IUPK-nya dan lain-lain stabilisasi investasi," ujar Rini Soemarno.
Untuk masalah pembayaran Rini meminta agar Inalum yang sudah mengantongi pinjaman sindikasi dari 11 bank paling lambat menyelesaikannya akhir bulan Juli 2018 ini.
"Saya mintanya ke direktur utama Inalum, Pak Budi akhir bulan (selesai), tapi Pak Budi mintanya mundur sedikit," kata Rini.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.