Boediono Mengaku Tidak Pernah Mendapat Laporan Misrepresentasi BDNI
"Sepanjang yang saya ikuti, saya tidak ingat ada pembicaraan soal misrepresentasi."
Penulis: Amriyono Prakoso
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Amriyono Prakoso
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Menteri Keuangan, Boediono mengaku tidak pernah dilaporkan sama sekali mengenai adanya misrepresentasi masalah piutang Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) yang menerima Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Misrepresentasi yang dimaksud adalah, petambak yang berada di bawah PT Dipasena Citra Darmadja dan PT Wachyuni Mandira yang seolah-olah piutang lancar.
Baca: Tribunnews.com Raih Juara Dua Media Terproduktif Dalam Pemberitaan Kemanusiaan dari ACT
"Sepanjang yang saya ikuti, saya tidak ingat ada pembicaraan soal misrepresentasi. Tapi, ada memang saya dengar kabar, petambak ada yang macet (sulit membayar utang)," jelasnya saat menghadiri sidang kasus BLBI di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (19/7/2018).
Sepengetahuan Boediono, saat itu terdapat pembahasan pengurangan beban kepada para petambak yang awalnya sebesar Rp 135 juta menjadi Rp 100 juta per petambak.
Baca: Diangkat Jadi Komisaris PT Angkasa Pura I, Ngabalin: Terimakasih Menteri BUMN
Kemudian, ada usulan dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) untuk meringankan beban petambak.
Mengenai hal lain, soal utang petambak, mantan wakil presiden itu menjelaskan sudah memberikan seluruhnya kepada BPPN.
Begitu juga mengenai detail kerjasama, aset, dan lainnya.
Baca: Polri Usut 25 Kasus Politik Uang dalam Pilkada Serentak 2018
"Pada pokoknya, saat itu petambak memiliki kewajiban penyelasaian utang, tapi ada usulan dari BPPN untuk diperingan beban. Saya lupa juam detailnya berapa? Tujuannya, untuk membantu petambak, karena saya sampaikan kalau semua sesuai aturan, tentu menjadi hal baik," katanya.
Dalam sidang sebelumnya, sudah banyak saksi yang dihadirkan jaksa KPK demi menguatkan dakwaan.
Saksi-saksi tersebut diantaranya, Kwik Kian Gie, Hadiah Herawati, Dorodjatun, Rizal Ramli, hingga para mantan pimpinan BPPN.
Dalam perkara ini, terdakwa Syafruddin didakwa melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 ayat 1 kesatu KUHP.
Syafruddin dianggap telah memperkaya diri sendiri dan orang lain yang merugikan keuangan negara hingga Rp 4,58 triliun.
Dia diduga terlibat dalam kasus penerbitan SKL BLBI bersama Dorojatun Kuntjoro Jakti (mantan Ketua Komite Kenijakan Sektor Keuangan) kepada Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim selaku pemegang sahan BDNI pada 2004.