Forum Dekan FK Se-Indonesia Dukung Penuh Revisi UU Pendidikan Kedokteran
Respon AIPKI mendukung revisi UU Dikdok karena produk legislasi ini telah menimbulkan gejolak dan kegaduhan bagi pemangku kepentingan terkait.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Forum Dekan Fakultas Kedokteran (FK) se-Indonesia mendukung isi revisi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran (UU Dikdok).
Penegasan ini disampaikan Ketua Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI), dr Mahmud Ghaznawie pada pertemuan Forum Dekan (Fordek) Fakultas Kedokteran (FK) se Indonesia yang telah berlangsung 29-30 Juli 2018 lalu.
Respon AIPKI mendukung revisi UU Dikdok karena produk legislasi ini telah menimbulkan gejolak dan kegaduhan bagi pemangku kepentingan terkait.
"Kita harus berani mengakui bahwa UU Pendidikan Kedokteran (DikDok) 2013 yang seyogianya dimaksudkan untuk menjaga mutu pendidikan kedokteran, ternyata telah menimbulkan gejolak disana-sini dan menunjukkan ketidakharmonisan dengan peraturan perundang-undangan lainnya,” ungkap Mahmud.
Mahmud Ghaznawie menyebut kehadiran UU tersebut ternyata dalam prakteknya telah menunjukkan ketidakharmonisan dengan peraturan perundang-undangan lainnya.
Dari perspektif Mahmud, pendidikan kedokteran sejatinya memiliki ciri lex specialis yang menjadi landasan diperlukannya undang-undang yang khusus mengatur hal itu.
Namun, sayangnya, hal ini belum terakomodasi dalam UU No 20 Tahun 2013 tersebut. Bahkan sejak diundangkan, berbagai isu kontraproduktif telah muncul menyertai perjalanan undang-undang ini.
"Diantaranya mengenai Dokter Layanan Primer (DLP), Uji Kompetensi menjadi exit exam serta menjadi satu-satunya penentu kelulusan, penghapusan ijazah dokter yang kemudian diganti sertifikat profesi, dan lainnya," ujarnya.
Mahmud menjelaskan program DLP telah menimbulkan kontroversi yang berkepanjangan antar berbagai pemangku kepentingan. Dia mengajak para pihak untuk berani meninjau ulang apa yang pernah disepakati.
"Kalau seandainya itu lebih banyak mudharat dibanding manfaatnya, tentu kita harus dengan lapang hati berani melakukan peninjauan kembali,” ujar Mahmud.
Selain itu, penggantian ijazah dokter menjadi sertifikat profesi sangat merugikan peserta didik. Program profesi dokter (rotasi klinik) dianggap sebagai pendidikan profesi murni, tanpa melihat substansi proses pendidikan yang terjadi.
"Ini jelas merugikan peserta didik dan tidak boleh dibiarkan," katanya.
Di sisi lain, Uji Kompetensi yang menjadi satu-satunya penentu kelulusan juga menimbulkan masalah dan menjadi pertanyaan besar bagi para pendidik.
“Hal tersebut tidak sesuai dengan kaidah-kaidah pendidikan,” kata Mahmud yang juga Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar ini.
Pakar pendidikan kedokteran dari Universitas Gadjah Mada, dr Titi Savitri yang hadir pada temu Dekan FK se-Indonesia tersebut mengatakan bahwa orang mendaftar masuk fakultas kedokteran itu tujuannya untuk meraih kualifikasi akademik sebagai dokter. Kekhasan inilah yang harus diakomodasi dalam UU Pendidikan Kedokteran.
"Jadi, terminal dari program studinya adalah dokter. Hal ini berbeda dengan program studi lain. Kekhasan inilah yang harus diakomodasi dalam UU Pendidikan Kedokteran,” kata Titi Savitri.
Dia mengatakan, pada program studi lain, Fakultas Hukum misalnya, mahasiswa masuk di FH untuk meraih kualifikasi akademik sebagai Sarjana Hukum atau SH. Demikian pula Fakultas Ekonomi, dan fakultas lainnya. Pada bidang studi tersebut, setelah mencapai gelar sarjana bisa melanjutkan di universitas yang sama atau di tempat lain.
“Inilah yang harus diakomodasi dalam revisi UU Dikdok. Di Fakultas Kedokteran, semua mahasiswa belajar disitu untuk meraih kualifikasi akademik sebagai dokter yang menjadi tujuan akhir,” ujar Titi.
Dalam revisi UU Pendidikan Kedokteran, Forum Dekan Fakultas Kedokteran mengeluarkan beberapa poin rekomendasi.
Dekan FK Universitas YARSI, dr. Rika Yuliwulandari bertindak sebagai host pada Forum Dekan FK se-Indonesia, di Hotel Best Western Plus, Kemayoran, Jakarta, mengatakan bahwa secara umum, masukan terkait substansi RUU Pendidikan Kedokteran tidak mendapat sanggahan karena masih belum final. Fakultas Kedokteran se-Indonesia diberi kesempatan memberi masukkan dalam bentuk daftar inventaris masalah (DIM).
"Forum Dekan Fakultas Kedokteran juga berpendapat masalah yang terjadi selama ini harus bisa diatasi dengan sistem yang lebih baik, dituangkan dalam revisi UU Pendidikan Kedokteran," ujar Rika Wulandari mengutip butir-butir rekomendasi di Jakarta, Rabu (8/8/2018).
Selain itu, Forum Dekan Fakultas Kedokteran juga membahas tentang bertumpuknya retaker Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter (UKMPPD). Terhadap mahasiswa yang belum lulus UKMPPD, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti) diharapkan mampu memformulasikan solusi penanganan dengan lebih baik.
Forum Dekan Fakultas Kedokteran juga mengingatkan bahwa ijazah dokter adalah hak mahasiswa yang telah menyelesaikan rotasi kliniknya. Oleh karena itu, 2700-an retakertersebut berhak mendapat ijazah dokter dari perguruan tinggi masing-masing.
Ketua AIPKI periode 2017-2019, Mahmud menegaskan, bagi yang akan berprofesi praktik dokter, mereka harus lulus UKMPPD lebih dahulu. Bagi yang tidak ingin praktik dokter, mereka bisa langsung masuk dunia kerja.
"UKMPPD tidak boleh menjadi satu-satunya syarat kelulusan," ujar Mahmud.
Ketua Forkom
Fakultas Kedokteran Universitas YARSI dipercaya sebagai tuan rumah pada pertemuan Forum Dekan FK se-Indonesia sekaligus Forum Komunikasi FK Swasta Jakarta 2018. Di hari kedua kegiatan forum dekan digelar di Auditorium Al-Qudus Universitas YARSI.
Acara Forkom juga dihadiri oleh 8 Fakultas Kedokteran (FK) Swasta di Jakarta, di antaranya FK Universitas YARSI, FK Trisakti, FK Ukrida, dan FK Untar.
Dalam pertemuan Fordek FK yang dihelat oleh Fakultas Kedokteran YARSI sebagai host ini telah mempercayakan kepada dr. Rika Yuliwulandari sebagai ketua Forkom. Sedangkan Universitas YARSI terpilih sebagai sekretariat Forkom.
Dr Rika menyebut Fordek telah dihadiri oleh 56 FK se-Indonesia, dari total anggota 86 FK se-Indonesia. Jumlah total peserta Fordek kali ini adalah 74 peserta yang terdiri dari dekan-dekan Fakultas Kedokteran anggota Fordek yakni Ketua I AIPKI, Sekjen AIPKI,pengurus AIPKI (Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia),Dirjen sumber daya Iptek dan Dikti Prof dr. Ali Ghufron Mukti, Ketua Yayasan Universitas YARSI Prof. Dr. Jurnalis Uddin, PAK dan Biro Hukum dan Organisasi Kemenristekdikti.
Dekan FK yang baru saja mengantarkan FK YARSI kembali meraih Akreditasi A ini menyampaikan apresiasi tinggi dan terima kasihnya atas kepercayaan para kolega di Fordek dan Forkom FK yang memilihnya sebagai Ketua Forkom FK swasta Jakarta.
"Insya Allah, kita akan terus berkomunikasi, berkoordinasi dan berkonsolidasi dengan anggota Forkom untuk melakukan peningkatan kualitas pendidikan kedokteran, khususnya di Jakarta, ujian seleksi penerimaan mahasiswa baru bersama dan kolaborasi riset antar institusi," ungkapnya.
Sebagai wakil pemerintah, Prof dr Ali Ghufron dalam pertemuan itu mengharapkan temu forum dekan FK ini mampu memberikan solusi dalam merevisi UU tentang DikDok sehingga tidak terjadi lagi polemik yang berkepanjangan, tanpa harus mengurangi kualitas dan kompetensi calon dokter di Indonesia.
"Perkembangan kedokteran di era digital saat ini telah terjadi perubahan terutama di tingkat global. Untuk itu Undang-Undang Pendidikan Kedokteran di Indonesia harusnya mengacu pada hal yang substansi dalam meningkatkan kualitas dokter yang jumlahnya masih sedikit dan tidak merata, ” tegasnya.
Sementara Ketua Yayasan YARSI, Prof Jurnalis berpendapat harusnya dengan pengketatan proses seleksi calon mahasiswa kedokteran dari awal maka kejadian 2700 mahasiswa kedokteran atau calon dokter yang tidak lulus uji kompetensi seyogianya tidak akan terjadi. Sebab mulai dari seleksi, proses belajar dan akhir belajar telah sesuai dengan kompetensi kedokteran.