BKKBN Gelar Diskusi Bahas Upaya Hadapi Tingginya Pernikahan Usia Muda
Maraknya pernikahan yang dilakukan pada usia sangat belia bahkan di bawah umur, menimbulkan potensi meningkatnya angka perceraian.
Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Maraknya pernikahan yang dilakukan pada usia sangat belia bahkan di bawah umur, menimbulkan potensi meningkatnya angka perceraian.
Pasangan yang membangun rumah tangga pada usia yang belum matang, akan memiliki resiko berpisah pada 'usia muda' pernikahan.
Data dari BPS (2010), menyatakan bahwa kasus perceraian tertinggi, menimpa pernikahan pasangan yang memiliki usia 20 hingga 24 tahun.
Bahkan usia pernikahan mereka belum genap lima tahun.
Baca: Undang Sejumlah Pakar, BKKBN Rumuskan Model untuk Menekan Angka Pernikahan Usia Muda
Dalam Diskusi yang digelar Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dengan Pakar dan Pemangku Kepentingan tentang Kesiapan dan Perencanaan Berkeluarga bagi Remaja, pembahasan mengenai hal tersebut pun dibahas secara mendalam.
Sejumlah pakar dan pemangku kepentingan melakukan identifikasi variabel dan indikator terkait kesiapan dan perencanaan itu secara komprehensif.
Plt Kepala BKKBN Sigit Priohutomo pun menyebutkan salah satu contoh kasus pernikahan dini yang sempat viral lantaran alasan yang tidak masuk akal.
Hanya karena takut tidur sendiri, seorang remaja memutuskan untuk menikah agar ada yang menemaninya saat tidur.
"Beberapa kasus yang terjadi dan sempat viral itu AM, pelajar kelas dua SMP itu memutuskan menikah dengan AR remaja laki-laki (berusia) 15 tahun dengan alasan takut tidur sendiri," ujar Sigit, dalam diskusi yang digelar di The Park Lane Hotel, Tebet, Jakarta Selatan, Kamis (30/8/2018).
Oleh karena itu, bersama instansi dan para pakar terkait, Sigit pun menyampaikan bahwa pihaknya menyadari bahwa program yang direncanakan khusus untuk para remaja harus dimatangkan.
"Kita menyadari lah ya, dari waktu ke waktu ini kan mencapai program sasaran yang harus kita bentuk untuk 5 tahun mendatang juga harus kita persiapkan," jelas Sigit.
Ia tidak memungkiri pendekatan edukasi terkait kesiapan dan perencanaan berkeluarga pada remaja zaman sekarang berbeda pada saat dirinya mengalami usia yang sama.
Karena itulah, BKKBN mendatangkan sejumlah pakar yang mengerti bagaimana cara mendekati generasi millenial ini.
Bahkan dalam agenda diskusi itu pula, lembaga yang concern dalam masalah kependudukan dan keluarga berencana tersebut juga menghadirkan para remaja yang telah menikah untuk bisa memberikan pendapat dan pengalaman mereka setelah menikah.
"Tentunya kita tahu juga zaman sekarang ini zaman untuk remaja yang berbeda dengan zaman-zaman remaja kita pada waktu itu, karena itu kita mendatangkan banyak pakar di sini, termasuk juga pakar remaja itu sendiri," kata Sigit.
Menurutnya, para paksr tersebut lebih mengetahui cara yang ampuh untuk menyasar para remaja agar edukasi yang diberikan BKKBN sampai pada para remaja generasi 'zaman now'.
"Cara-cara apa yang harus dicocokkan kepada remaja, tentunya kita juga meminta masukan dari mereka, bagaimana kita bisa masuk pada pasar remaja," papar Sigit.
Diskusi tersebut memang sengaja digelar agar para pakar bisa membantu memberikan ide dalam penggerakkan program-program yang berfokus pada remaja.
Sehingga pesan tersebut tidak hanya disebarkan, namun juga diserap secara positif oleh para remaja, demi meniadakan atau mengurangi pernikahan dini.
"Percuma kita melakukan program-program yang sudah tidak sesuai lagi pada remaja saat ini," pungkas Sigit.
Dalam diskusi tersebut, hadir pula oleh Guru Besar IPB Profesor Euis Sunarti, Guru Besar Universitas Indonesia Profesor Bambang Shergi Laksmono,Psikolog Roslina Verauli, Ketua Umum Ikatan Praktisi dan Ahli Parenting Sudibyo Alimoeso, Pakar Komunikasi Digital Iwan Setiawan, serta Ketua Komisi IX DPR RI Dede Yusuf.