Pakar Hukum : Menkum-HAM Seharusnya Segera Cabut Badan Hukum BANI Versi Sovereign
Gugatan Tata Usaha Negara yang diajukan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) terhadap Surat Keputusan (SK) Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Penulis: FX Ismanto
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fx Ismanto
TRIBUNNEWS.COM. JAKARTA - Gugatan Tata Usaha Negara yang diajukan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) terhadap Surat Keputusan (SK) Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkum-HAM) mengenai BANI Versi Sovereign telah mencapai titik akhir, setelah Mahkamah Agung (MA) pada tingkat kasasi mengabulkan gugatan BANI agar Menkum-HAM mencabut SK pengesahan pendirian perkumpulan badan hukum dengan menggunakan nama Badan Arbitrase Nasional Indonesia, yang digunakan BANI Versi Sovereign sebagai dasar untuk menjalankan lembaga arbitrasenya selama ini.
Mengomentari hasil putusan Kasasi Mahkamah Agung tersebut, Pakar Hukum Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menyebutkan bahwa Menkum-HAM harus segera mencabut SK Pengesahan BANI Versi Sovereign tersebut, karena Menkum-HAM tentu telah menerima salinan putusan MA tersebut. “Saya kira Menkum-HAM telah menerima putusan tersebut yang juga telah dipublish dengan diumumkan di website MA. Sebaiknya Menkum-HAM segera melaksanakan eksekusi pencabutan SK aquo sesuai isi putusan Mahkamah Agung tersebut,” ujarnya saat ditemui di Universitas Trisakti, Jakarta, Kamis (30/8/2018).
Meskipun demikian, Fickar memaparkan bahwa sebenarnya dengan adanya putusan dari MA, tanpa perlu menunggu adanya eksekusi, BANI Versi Sovereign sudah tidak sah secara hukum, dan seharusnya sudah tidak bisa menerima perkara lagi. “Dengan keluarnya putusan MA mengenai pencabutan Badan Hukum BANI Versi Sovereign, artinya mereka sudah tidak sah menangani perkara apapun dengan menggunakan nama BANI, jadi sebaiknya mereka berhenti menangani perkara,” tegas Abdul Fickar Hadjar.
Sehingga secara yuridis, lanjut Abdul Fickar Hadjar , meski belum dicabutnya SK tersebut, jika BANI Versi Sovereign masih menjalankan proses penyelesaian sengketa dan menggelar pengadilan arbitrase, hasil putusan arbitrase BANI Versi Sovereign tersebut tidak sah, tidak punya kekuatan hukum mengikat dan putusan tersebut menjadi tidak bisa ditaati, dan pengadilan pun tidak akan bisa mengeksekusi hasil putusannya karena pengadilan pun mengetahui bahwa hasil putusan yang dihasilkan BANI Versi Sovereign itu tidak sah. “Ini tentunya akan sangat merugikan para pengusaha yang menggunakan jasa BANI Versi Sovereign untuk menyelesaikan permasalahannya,” kata Abdul Fickar Hadjar.
“Namun alangkah lebih baik jika Menkum-HAM pun segera melakukan eksekusi pencabutan itu, agar ada kepastian hukum dan menghindari dampak lebih jauh dari belum tercabutnya Surat Keputusan tersebut,” pinta Abdul Fickar Hadjar.
“Sebetulnya ada beberapa upaya yang bisa dilakukan oleh BANI agar mendorong Menkum-HAM melaksanakan putusan tersebut, seperti yang tercantum dalam UU PTUN Pasal 116 Ayat (5), dimana disebutkan apabila tidak terpenuhinya batas waktu 90 hari kerja, penggugat dapat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan agar tergugat melaksanakan putusan yang bersangkutan, kemudian ketua pengadilan mengajukan ketidakpatuhan tersebut kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi negara/pemerintah dan kepada DPR yang menjalankan fungsi pengawasan terhadap pemerintah, " terang Abdul Fickar Hadjar.
Dalam UU tersebut juga disebutkan bahwa Panitera dapat membuat pengumuman di media massa setempat jika tergugat tidak melaksanakan putusan. “Menjadi ironis jika Kementrian Hukum tidak melaksanakan putusan pengadilan, dalam hal ini Mahkamah Agung, yang nota bene merupakan hukum juga,” tutup Abdul Fickar Hadjar.
Sementara itu, Ketua BANI, Husseyn Umar mengatakan pihaknya berharap agar Menkum-HAM dapat segera melaksanakan keputusan tersebut. “Kami beharap dengan adanya putusan ini para pengusaha yang ingin menyelesaikan sengketanya melalui BANI sudah tidak ada lagi yang mempunyai keraguan, " Ujar Ketua BANI Husseyn Umar.