Seminar UAJY : PASAL 33 UUD NRI 1945 SULIT TERWUJUD
Pasal 33 UUD NRI 1945 tentang perekonomian nasional sulit terwujud mengingat peraturan yang dibuat oleh pemerintah bersifat parsial dan
Penulis: FX Ismanto
Laporan Wartawn Tribunnews.com, Fx Ismanto
TRIBUNNEWS.COM, YOGYAKARTA - Pasal 33 UUD NRI 1945 tentang perekonomian nasional sulit terwujud mengingat peraturan yang dibuat oleh pemerintah bersifat parsial dan tidak terintegrasi. Alasannya adalah peraturan-peraturan yang dibuat semakin menjauhkan substansi perekonomian nasional seperti yang dimaksud dalam pasal 33 tersebut. Karena secara struktural, peraturan-peraturan tersebut justru mendegradasi UUD NRI 1945.
Selain itu, bagi masyarakat di sekitar tambang,, Corporate Social Responsibilty (CSR) bukanlah alat untuk mencapai kemakmuran sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 33 ayat 3 UUD NRI 1945. Hal ini mengingat bahwa CSR merupakan kewajiban yang dilakukan oleh semua perusahaan tanpa terkecuali termasuk BUMN ataupun nonBUMN. Kemakmuran yang dimaksud dalam Pasal 33 ayat 3 sifatnya adalah permanen, sedangkan CSR itu sifatya sementara selama industri ada di daerah tersebut.
Sistem pemerataan kemakmuran seperti yang digagas dalam Indonesia Raya Incorporated (IRI) dianggap mampu untuk melaksanakan amanat Pasal 33 UUD NRI 1945. Indonesia Raya Incorporated (IRI) adalah sistem pemerataan kemakmuran yang dicapai melalui pembangunan ekonomi nasional terintegrasi.
Demikian kesimpulan seminar nasional di Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY) yang bertajuk“Pengelolaan BUMN Tambang dan Migas - Tinjauan Hukum, Manajemen dan Ekonomi”, Selasa (4/9/2018). Hadir sebagai nara sumber adalah DR C Kastowo SH. M.hum (UAJY), DR. Y. Sri Susilo SE. MSi (UAJY), DR. R Agus Trihatmoko SE. MM. MBA (Universitas Surakarta), dan Alumnus Lemhannas RI PPSA XXI, AM Putut Prabantoro yang adalah penggagas konsep IRI. Seminar dipandu oleh wartawan senior Ronny Sugiantoro SE. MM.
Menurut Kastowo, dengan dikeluarkannya PP No. 6 Tahun 2018 dan PP No. 47 Tahun 2017 mendegradasi posisi UUD NRI 1945. PP No. 6 Tahun 2018 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Idonesia Ke Dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT Pertamina dan PP No. 47 Tahun 2017 tentang Penambahan Penyertaan Modal NegaraRepublik Indonesia Ke Dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum).
“Kedua Peraturan Pemerintah itu mendegradasi UU NRI 1945 karena penguasaan atas BUMN hilang. Penambahan modal pada kedua perusahaan itu menyebabkan negara tidak memiliki lagi PT PGN dengan PP No. 6 Tahun 2018 dan PT Aneka Tambang Tbk, PT Timah Tbk dan PT Bukit Asam Tbk dengan PP No. 47 Tahun 2017 sekalipun dikatakan ada saham Dwi Warna. Negara tidak lagi menguasai perusahaan-perusahaan tersebut dan yang menguasai adalah Pertamina dan PT Inalum. Yang tadinya berstatus BUMN kemudian berubah menjadi NonBUMN. Degradasi itu secara singkat dapat dikatakan yang tadinya dikuasai negara, sekarang dikuasai oleh NonNegara,” ujar Kastowo.
Susilo menjelaskan, sekalipun ada BUMN di daerahnya, masyarakat sekitar tambang tetap hidup dalam kemiskinan. Penelitian menjelaskan kondisi ini dan masyarakat di sekitar tambang tidak mencapai kemakmuran sekalipun ada CSR.
“Kemakmuran hanya bisa dicapai jika tambang atau migas dikuasai negara dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. CSR merupakan kewajiban setiap perusahaan tanpa terkecuali di tambang ataupun tidak. Selain itu, CSR tidak hanya untuk masyarakat di sekitar tambang saja dan sifatnya tidak permanen. Sementara yang dimaksud dalam Pasal 33 UUD NRI 1945, kemakmuran sifatnya permanen, jangka panjang. Belum makmur ya harus dimakmurkan karena itu amanat UUD, bukan amanat Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden atau peraturan yang lain,” ujar Sri Susilo.
Agus Trihatmoko melihat kemakmuran belum juga tercapai meski sudah merdeka 73 tahun karena pembangunan ekonomi Indonesia belum melaksanakan amanat Pasal 33 UUD NRI 1945 dimana ekonomi dibangun atas usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Oleh karena itu, wajar jika cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai negara. Sebagai tindak lanjut, Bumi, Air dan Kekayaan yang ada di dalamnya harus dikuasai oleh negara.
“Tanpa itu semua, kemakmuran tidak mungkin akan tercapai. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana caranya agar kemakmuran bisa cepat terwujud. Saya melihat IRI sebagai pembangunan ekonomi nasional terintegrasi menjadi solusi terbaik yang selama ini untuk dapat diterapkan,” ujar Agus Trihatmoko.
Menurut Agus Trihatmoko, pembangunan ekonomi nasional terintegrasi itu dicapai melalui dua pola yang kesemuanya melalui “perkawinan. Jika itu menyangkut kepemilikan (penguasaan) negara atas sumber ekonomi, perkawinan terjadi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (provinsi. Kabupaten/kota dan desa) di mana sumber ekonomi itu berada dengan mengikutsertakan pemerintah daerah seluruh Indonesia. Jika itu menyangkut tata kelola, perkawinan itu terjadi antara BUMN dan BUMD ( Provinsi dan Kabupaten / Kota ) dan BUMDes di mana sumber ekonomi itu berada, serta yang melibatkan penyertaan modal dari BUMD dan BUMDes seluruh Indonesia.
Ekonom Universitas Surakarta itu menjelaskan juga, tata-kelola SDA Tambang dan Migas telah berdampak pada Kesenjangan Kepemilikan Asset Negara antara BUMN, BUMD, Swasta dan Asing. Hal tersebut sebagai akibat dari liberaliasi ekonomi yang telah mengarahkan BUMN Indonesia menjadi Kapitalis bagi negaranya. Kepemilikan saham BUMN yang go-public pun saat ini juga didominasi oleh kelompok kapitaslis swasta dan asing.