Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Isu Human Capital Peting Dibahas dalam Pertemuan Tahunan IMF-Wolrd Bank 2018

Jika merujuk laporan Bank Dunia, ada miss match antara higher education di perguruan tinggi dan kebutuhan pasar

Editor: Eko Sutriyanto
zoom-in Isu Human Capital Peting Dibahas dalam Pertemuan Tahunan IMF-Wolrd Bank 2018
Istimewa
Roundtable Discussion bertajuk “Human Capital - Menjawab Tantangan Dunia Pendidikan Dalam Menghasilkan SDM yang Unggul” yang diselenggarakan dalam rangka Pre-Event Pertemuan Tahunan IMF-World Bank Group 2018 di Lantai 6 Gedung Djuanda 1, Kementerian Keuangan pada Rabu (12/9) pagi 

irektur SDM Pertamina, Kushartanto Koeswiranto menyoroti tantangan selama ini adalah kesulitan SDM.

“Bisa dikatakan kami desperate [putus asa] dari sisi user. Di Pertamina kami butuh 66.000, misalnya, yang dapat cuma 22.000, ini belum kami me-manage talent millenial yang tidak sesederhana," katanya.

Dia menegaskan perlu ada fleksibilitas yang perlu didukung oleh dunia usaha agar bisa mengejar kecepatan kebutuhan dunia usaha.




Dia mempertanyakan apakah perubahan dalam implementasi Industri 4.0 sudah bisa direspons dengan cepat oleh perguruan tinggi mengingat jika pola pendidikan lambat merespons akan dibayar mahal dengan indeks HCI yang rendah.

Dia juga menekankan pentingnya agar perguruan tinggi fokus juga pada program magang mengingat selama ini beberapa perguruan tinggi justru tidak siap dan terlalu terkungkung aturan dalam penerapan magang.

Munif Chatib, konsultan pendidikan dan penulis buku “Sekolahnya Manusia” mengatakan ada dua penekanan yakni hasil pendidikan dan proses pendidikan.

Secara hasil pendidikan, memang ada link and match yang jadi persoalan. Dia mencontohkan dari seleksi program Indonesia Mengajar pada 2010.

BERITA TERKAIT

“Dari 3.000 pendaftar Indonesia Mengajar, 80 persen adalah dari FKIP atau Fakultas Keguruan, dan dari jumlah itu hanya 51 yang disaring terakhir. Dan tidak ada satupun yang dari FKIP. Kami berpikir oh mungkin ini kebetulan, lalu di angkatan kedua masuk pendaftar 6.000, diseleksi 73, alhamdulillah ada 3 dari FKIP. Berarti memang hasil pendidikan kita tidak signifikan.

Kedua, proses pendidikan, perlunya diubah sistem pendidikan terutama kurikulum agar dari sentralistik menjadi desentralistik karena perbedaan local wisdom yang tidak bisa disamakan antara satu dengan wilayah lainnya.

Paristiyanti Nurwardani, Direktur Pembelajaran Ditjen Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kemenristek Dikti, mengatakan selama ini memang ada ketidaksesuaian antara kebutuhan dan ketersediaan sesuai dengan Survei Bank Dunia 2008.

Baca: Batik dan Tenun Jadi Official Dress Code Saat Pertemuan Bank Dunia di Bali

Selain itu, fakta yang mengemuka adalah kritik terhadap lulusan di mana masih terkendala di English proficiency, leadership, dan IT skills, serta pekerjaan yang kurang relevan dengan latar belakang pendidikan.

Selain itu persoalan lain yakni lulusan yang kurang kompetitif, rendahnya kemampuan komunikasi lisan dan tertulis, rendahnya berfikir kritis, percaya diri dan lunturnya nilai-nilai kebaikan.

Sebab itu, Kemenristekdikti akan melakukan pertama, peningkatan akses relevansi, salah satunya dengan revitalusasi regulasi.

“Regulasi akan disederhanakan, dengan menggabungkan 60 regulasi terkait pendidikan dengan 2-3 regulasi saja, mudah-mudahan bisa disederhanakan.”

Halaman
123
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas