Bacakan Pledoi, Terdakwa Kasus BLBI Singgung Nilai Tukar Rupiah yang Merosot
Syafruddin dianggap telah memperkaya diri sendiri dan orang lain yang merugikan keuangan negara hingga Rp 4,58 triliun
Penulis: Theresia Felisiani
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
Laporan Wartawan Tribunnews.com Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Di akhir pembacaan pledoi pribadinya, Syafruddin Arsyad Temenggung, Terdakwa perkara korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Kamis (13/9/2018) di Pengadilan Tipikor Jakarta sempat menyinggung soal kondisi perekonomian Indonesia saat ini.
"Kita sedang mengalami tekanan ekonomi yang cukup besar akibat gejolak ekonomi dunia. Nilai tukar rupiah merosot mencapai Rp 15.000 per 1 USD. Suatu keadaan nilai tukar rupiah yang rendah dan hampir sama dengan nilai tukar pada masa krisis ekonomi tahun 1997-1998 yang mencerminkan turunnya kepercayaan ekonomi internasional terhadap Indonesia," ujar Syafruddin.
Baca: Terdakwa Korupsi BLBI Bacakan Pledoi di Pengadilan Tipikor Jakarta
Dimasa-masa krisis ini, lanjut Syafruddin, Indonesia memerlukan iklim investasi yang kondusif untuk menarik dunia usaha nasional dan internasional melakukan kegiatan investasi dan perluasan kegiatan usaha di Indonesia.
Semua ini, ungkap Syafruddin, bisa terjadi kalau Indonesia bisa memberikan kepastian hukum bagi dunia usaha serta konsisten menjalankan peraturan perundang-undangan dan kebijakan publiknya.
"Kami yakin majelis hakim yang mulia dapat melihat aspek penegakan hukum dalam kasus kami ini juga sekaligus mempertimbangkan asas keadilan, manfaat dan kepastian hukum yang dikaitkan dengan situasi ekonomi yang sulit yang dihadapi Indonesia saat ini," imbuhnya.
Terakhir, Syafruddin juga berpesan semua pihak berkewajiban menjaga agar apa yang sudah dicapai dan upayakan sejak 2004 dapat terus dimantapkan dan bahkan lebih ditingkatkan untuk kemakmuran dan kemajuan Bangsa Indonesia.
Jangan sampai tindakan penegak hukum menciptakan ketidakpastian hukum dan menjadi pemicu bagi gejolak yang akan merugikan Bangsa Indonesia.
Sebelumnya, dalam sidang awal September 2018 lalu, jaksa KPK menuntut Syafruddin dengan pidana selama 15 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan.
Terdakwa juga dinyatakan terbukti merupakan pelaku yang aktif dan melakukan peran yang besar dalam pelaksanaan kejahatan, pelaksanaan kejahatan menunjukkan adanya derajat keahlian dan perencanaan terlebih dulu.
Dalam perkara ini, Syafruddin didakwa melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 ayat 1 kesatu KUHP.
Baca: Kondisi Ekonomi Memprihatinkan, Korban Perdagangan Orang Langsung Terbuai Iming-iming Gaji Besar
Syafruddin dianggap telah memperkaya diri sendiri dan orang lain yang merugikan keuangan negara hingga Rp 4,58 triliun.
Dia diduga terlibat dalam kasus penerbitan SKL BLBI bersama Dorojatun Kuntjoro Jakti, mantan Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan) kepada Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim selaku pemegang saham BDNI pada 2004.