Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Cerita Mantan Kepala BPIP soal Revolusi Mental Indonesia

Yudi mengungkapkan perasaan herannya dengan sebutan yang hanya ada di Indonesia terkait koruptor.

Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Sanusi
zoom-in Cerita Mantan Kepala BPIP soal Revolusi Mental Indonesia
Danang Triatmojo

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudi Latief, mengajak masyarakat Indonesia khususnya pegiat naskah nusantara untuk mencari aliran bagaimana mental dapat membentuk karakter.

Hal itu dia paparkan dalam orasinya di Seminar Internasional dengan tema 'Menuju Revolusi Mental: Nilai-Nilai Pendidikan Karakter dalam Naskah Nusantara' di Perpustakaan Nasional RI.

Dalam paparannya, Yudi mengungkapkan perasaan herannya dengan sebutan yang hanya ada di Indonesia terkait koruptor.

Baca: Panjat Tembok Tahanan, Rambo Kabur dari Lapas Padangsidimpuan di Siang Bolong

Sebab, lanjutnya, hanya di Indonesia kasus korupsi disebut sebagai budaya. Yudi berkelakar jika pernyataannya seperti itu, maka koruptor juga dapat dijuluki sebagai seorang budayawan.

"Cuma di Indonesia kasusnya, korupsi disebut budaya. Kalau disebut budaya berarti koruptor disebut budayawan," katanya disambut gelak tawa dari peserta seminar yang datang, di Auditorium Soekarman lantai 2, Perpusnas RI, Jakarta Pusat, Senin (17/9/2018).

Lanjut Yudi, maraknya kasus korupsi di Indonesia seakan sudah menjadi moralitas bangsa. Oleh sebab itu mereka yang tak ikut dalam kejahatan korupsi akan dianggap 'sok suci'.

"Kalau korupsi sudah jadi moralitas kita, orang yang tidak ikut korup dianggap sok suci," terangnya.

Berita Rekomendasi

Yudi mengatakan, semua itu bisa terjadi sebab memiliki kaitan dengan bagaimana cara kita memandang sesuatu yang sangat mempengaruhi perilaku pribadi.

"Sesuatu yang diulang akan membentuk kebiasaan. Kebiasaan dalam bahasa latin disebut mors, muncul kata moral, dalam bahasa Indonesia yang disebut adat istiadat," kata Yudi.

Selain itu, Yudi juga menyinggung soal bagaimana sebuah bangsa bisa bersatu padahal memiliki agama berbeda.

Terkait itu, dia mengutip buku Sutasoma karya Mpu Tantular yang menjelaskan bahwa pertanyaan besarnya adalah mengapa sebagian besar dari kita hanya melihat semua itu dari permukaannya saja.

Padahal sejatinya, manusia memiliki kesamaan hakikat spiritualitas, dimana dharma kebaikan tak mungkin mendua dan akan kembali pada ruang spiritualitas yang sama.


"Kita melihat pohon dari dekat itu berbeda-beda. Kalau kita terbang di ketinggian, kita lihat pohon-pohon itu hanya bagian dari hijau yang sama," jelasnya.

"Tapi kalau kita masuk ke jantung spiritualitas yang sama, sebenarnya kita punya hakikat sama. Dharma kebaikan tidak mungkin mendua, semua akan kembali pada spiritualitas yang sama," imbuh Yudi.

Yudi mengatakan, bila Indonesia mampu menjaga dan melestarikan warisan-warisan terbaiknya, yakni Naskah Nusantara yang tak hanya berada dalam kertas, tapi juga terimplementasi lewat ukiran dan pahatan, Indonesia mampu menunjukan tajinya.

"Kalau Indonesia mampu merawat warisan terbaiknya di padu dengan racikan dari luar, maka Indonesia mampu berdiri dihadapan semesta," pungkasnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas