Soal Nobar Film G30S, Elite politik Diminta Tak politisasi isu anti-PKI
Sehingga sebenarnya, ucap Usman, isu anti-PKI kecil, namun dibesar-besarkan untuk membela kepentingan elite-elite yang membesar-besarkannya
Penulis: Imanuel Nicolas Manafe
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mengatakan, pilihan untuk menonton atau tidak film "Pengkhianatan G30S/PKI" adalah hak setiap warga.
Sehingga, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dan Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Letnan Jenderal Mulyono sebaiknya mengabaikan tantangan provokatif mantan Panglima TNI Jenderal (purn) Gatot Nurmantyo dan elite politik lain yang memerintahkan jajarannya menonton bareng film tersebut.
Baca: Gelar Nobar Film G30S/PKI, Partai Berkarya: Karena Ada Pak Harto
Usman mengatakan, TNI seharusnya tidak dipaksa mengambil tindakan yang rawan disalahgunakan oleh kelompok elite politik tertentu.
“Mempersoalkan sikap Panglima TNI dan KSAD dengan kesan seolah-olah takut dan membuat prajurit menjadi penakut jika tidak memerintahkan nonton bareng film G30S/PKI, itu adalah upaya politisasi TNI. Prajurit di mana pun, dan juga masyarakat tak bisa dipaksakan untuk menerima satu versi sejarah. Mereka sudah mengerti adanya versi sejarah yang berbeda. Adalah hak setiap orang apakah mau menonton film G30S/PKI atau merujuk film dan literatur alternatif lainnya” kata Usman dalam keterangannya, Jumat (28/9/2018).
Usman mengatakan, tahun lalu, semasa Gatot Nurmantyo masih menjabat sebagai Panglima TNI, ada kelompok masyarakat yang terpengaruh oleh isu ini sehingga terlibat aksi penyerangan dan perusakan kantor Yayasan LBH Indonesia.
Menurut Usman, hal Ini adalah intimidasi terhadap pembela HAM.
"Brutalitas pelaku membuat aparat keamanan kewalahan, baik anggota Polri maupun prajurit TNI yang ikut mengamankan. Beberapa polisi bahkan mengalami luka-luka. Tapi pelaku tidak dihukum. Tidak lama setelah Gatot membuat pernyataan anti-PKI baru-baru ini, sekelompok massa membubarkan Aksi Kamisan di Malang dan Surabaya, pada 27 September, dengan menuduh mereka sebagai “antek PKI”,” lanjut Usman.
Di masa lalu, kata Usman, setelah diproduksi pada 1981, pemerintah mewajibkan film ini ditonton semua warga negara.
Pada masa Reformasi, Menteri Pendidikan era Presiden BJ Habibie, Juwono Sudarsono, membentuk tim khusus untuk meninjau ulang seluruh buku sejarah dalam versi G30S/PKI.
Menteri Penerangan era Habibie pula, yaitu Letnan Jenderal (purn) Yunus Yosfiah, mengakhiri keharusan pemutaran tahunan atas film ‘Penghianatan G30S/PKI’.
"Ini adalah bukti bahwa sejarah peristiwa 30 September 1965 ditinjau ulang dan direvisi oleh pemerintah," katanya.
Survei nasional SMRC tahun 2017 menemukan bahwa mayoritas warga, 86 persen, tidak setuju bahwa PKI sedang bangkit. Yang setuju hanyalah 12 persen.
Baca: Gempa Bermagnitudo 7,7 Terjadi di Donggala, Sulteng
Sehingga sebenarnya, ucap Usman, isu anti-PKI kecil, namun dibesar-besarkan untuk membela kepentingan elite-elite yang membesar-besarkannya, menyudutkan korban dan penyintas 1965, bahkan membungkam aksi aktivis, dosen, dan petani yang tengah memperjuangkan hak-hak dasar mereka.
"Contoh, petani Budi Pego di Banyuwangi yang dituduh dan divonis penjara menyebarkan ideologi komunisme usai memprotes pembangunan tambang emas di daerah tersebut. Jadi ini adalah hal kecil yang dibesar-besarkan," tutur Usman.