LIPI: Lebih Baik Persiapkan Evakuasi Mandiri Secara Matang Daripada Bergantung Pada Alat
“Lebih baik mempersiapkan masyarakat agar memiliki kemampuan evakuasi mandiri seperti mengenal tanda-tanda gempa bumi dan tsunami," ucapnya
Penulis: Rizal Bomantama
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rizal Bomantama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) Eko Yulianto mengatakan hampir tidak mungkin menciptakan alat yang bisa memprediksi secara persis kapan terjadinya gempa bumi dan tsunami di Indonesia bahkan dunia.
Oleh karena itu, ia mengimbau masyarakat dan jajaran pemerintah pusat serta pemda untuk lebih mempersiapkan evakuasi warga secara mandiri melalui pendidikan daripada bergantung pada alat “early warning system”.
Baca: Evakuasi Korban, Bantuan Makanan dan Medis Jadi Prioritas
“Lebih baik mempersiapkan masyarakat agar memiliki kemampuan evakuasi mandiri seperti mengenal tanda-tanda gempa bumi dan tsunami, kalau ada gempa masyarakat di dekat pesisir langsung menjauhi laut daripada bergantung pada alat,” terangnya di Kantor LIPI, Jalan Gatot Soebroto, Jakarta Pusat, Selasa (2/10/2018).
Eko mengatakan, karena kecepatan bencana yang datang bisa lebih cepat daripada informasi yang diberikan alat pendeteksi bahaya.
Ia mencontohkan seperti peristiwa tsunami yang melanda Kepulauan Mentawai pada 2011 lalu.
“Di Mentawai itu ada masyarakat yang membaca peringatan tsunami di televisi, begitu keluar rumah air sudah datang, ibaratnya alat early warning system butuh tiga menit menyampaikan dari bencana terjadi, sementara bencana bisa datang 10 menit, jadi masyarakat hanya punya waktu tujuh menit,” tegasnya.
“Begitu juga bila mengandalkan alat “tides gauge”, kalau alatnya mengirimkan pesan bahaya berarti tsunami sudah sampai pantai,” imbuhnya.
Baca: Pertamina Pastikan Pasokan BBM di Palu Cukup
Oleh karena itu Eko meminta masyarakat tak melulu menyalahkan pemerintah atas kejadian gempa bumi dan tsunami yang kemungkinan merenggut banyak korban jiwa.
“Perilaku masyarakat juga kadang membuat alat-alat tersebut rusak atau hilang, sudah belinya mahal, tak ada biaya perawatan tapi dirusak oleh masyarakat,” pungkasnya.