Kemenkumham Tuntut KPU Jamin Hak Pilih Disabilitas dan Narapidana
Menurut dia, hak pilih itu harus dimiliki semua warga negara yang telah memenuhi syarat, termasuk narapidana dan penyandang cacat.
Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan HAM, Mualimin Abdi, menuntut kepada KPU RI menjamin hak pilih warga untuk memilih di Pemilu 2019.
Menurut dia, hak pilih itu harus dimiliki semua warga negara yang telah memenuhi syarat, termasuk narapidana dan penyandang cacat.
"Di dalam perlindungan hak asasi. Itu hak paling hakiki. Hak pilih itu tidak bisa didelay, dikurangi, ditunda," kata Mualimin, di kegiatan Peresmian Gerakan Melindungi Hak Pilih (GMHP), Hotel Aryaduta, Jakarta, Jumat (5/10/2018).
Kepemilikan KTP-el merupakan salah satu syarat untuk dapat memilih. Atas dasar itu, dia mengaku akan mengirimkan surat kepada Kementerian Dalam Negeri untuk memfasilitasi proses perekaman dan pencetakan KTP-el tersebut.
Namun, dia menilai, bukan hal mudah untuk melakukan proses itu. Apalagi terhadap narapidana mengingat jumlah lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan yang tersebar di seluruh Indonesia.
"Memang yang sedang melakukan hal terkait perekaman itu direktorat dukcapil. Kami ada di 33 provinsi. Provinsi besar bisa jadi lembaga pemasyarakatan, rutan juga banyak. Ini bukan mudah," katanya.
Sebelumnya, Perhimpunan Jiwa Sehat menyoroti Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI yang tidak memfasilitasi pemilih disabilitas untuk dapat menggunakan hak pilih di Pemilu 2019.
Yeni Rosa Damayanti, perwakilan dari PJS, mengatakan hanya sebesar 0,1 persen atau 270 ribu pemilih disabilitas yang masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Ini merupakan data yang dihimpun dari Bawaslu dan KPU Kabupaten/Kota.
"Jumlah lebih sedikit dibandingkan angka rata-rata disabilitas nasional, yaitu 12 persen menurut BPS. Kecil sekali 0,1%. kalau BPS 12 persen kalau Kemensos 6 persen. Bawaslu meminta KPU mencermati disabilitas di DPT untuk menjamin," ujarnya, Jumat (28/9/2018).
Menurut dia, pemilih disabilitas tidak masuk DPT, karena tidak mempunyai KTP-el. Selain itu, terdapat aturan tambahan di PKPU nomor 11 tahun 2018 tentang Penyusunan Daftar Pemilih di Dalam Negeri dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum 2019.
"Mereka menambah yang didaftar sebagai pemilih harus memenuhi syarat genap berumur 17 tahun pada hari pemungutan suara, sudah kawin atau sudah pernah kawin, tidak terganggu jiwa atau ingatan," kata dia.
Dia menilai, aturan itu bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
"Itu bertentangan dengan UU 7 tahun 2017 hak memilih itu warganegara yang umur 17 tahun atau sudah kawin atau pernah kawin syaratnya itu saja. Atau yang pernah dicabut hak politik oleh pengadilan. Melarang mereka untuk memilih," katanya.
Padahal, kata dia, pemilih disabilitas selama ini mengalami kesulitan untuk mendapatkan akses terutama dalam pembuatan KTP-el. Seharusnya, dia meminta, agar pemerintah dapat pro aktif.
Salah satunya dengan melakukan pendataan. Pada saat ini, dia menambahkan, penyandang disabilitas banyak yang tak memiliki KTP dan NIK. Ini tidak hanya terjadi di desa, tetapi di DKI Jakarta yang mencapai tiga ribu orang.
"Birokrasi buruk karena mereka tidak jemput bola. Inikan dengan asumsi harus aktif. Mereka mendapatkan kesulitan menuju kelurahan. Bayangkan bagaiamana mereka pergi ke kelurahan menggunakan kursi roda," ujarnya.