TM Mangunsong: Gaji Kecil Kepala Daerah Hanya Alibi
“Corruption by greed kini lebih banyak terjadi. Dalih gaji kecil itu hanya alibi,” ujarnya di Jakarta, Rabu (17/10/2018).
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Praktisi hukum TM Mangunsong SH berpendapat, ada dua motif korupsi, yakni korupsi karena kebutuhan atau corruption by need, dan korupsi karena keserakahan atau corruption by greed.
“Corruption by greed kini lebih banyak terjadi. Dalih gaji kecil itu hanya alibi,” ujarnya di Jakarta, Rabu (17/10/2018).
Sebelumnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla menyampaikan semacam apologia bahwa banyaknya kepala daerah yang terlibat korupsi karena gaji kecil di satu sisi, dan high political cost atau ongkos politik yang tinggi di sisi lain.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Senin (15/10/2018), menangkap dan menahan Bupati Bekasi, Jawa Barat, Neneng Hasanah Yasin, sebagai tersangka suap perizinan proyek Meikarta.
Di hari yang sama, KPK juga menahan Bupati Malang, Jawa Timur, Rendra Kresna, sebagai tersangka gratifikasi sejumlah proyek.
Neneng adalah kepala daerah ke-99 yang ditangkap KPK sejak 2004, dan tahun ini politisi Golkar itu ialah kepala daerah ke-25 yang ditangkap KPK karena korupsi.
Data Kementerian Dalam Negeri, sejak pemilihan kepala daerah (pilkada) digelar langsung pada 2004, hingga tahun 2017 sudah ada 313 kepala daerah yang terlibat korupsi.
TM Mangunsong meyakini, bukan gaji kecil yang memicu para kepala daerah melakukan korupsi, melainkan sifat tamak dan serakah. “Bukan karena kebutuhan akibat gaji kecil, melainkan keserakahan,” tegas Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Jakarta Pusat ini.
Ia lalu merujuk contoh Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin yang terbilang kaya tapi tetap melakukan korupsi. Selain memiliki harta kekayaan bernilai ratusan miliar rupiah, Neneng juga diketahui memliki ratusan bidang tanah yang tersebar di Bekasi, Purwakarta dan Karawang. “Itu jelas corruption by greed,” cetusnya.
Mangunsong juga merujuk contoh kepala daerah lain yang kaya-raya tetapi tetap korupsi, yakni mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, dan mantan Gubernur Jambi Zumi Zola. “Harta itu ibarat air laut, makin banyak direguk justru makin membuat kita haus,” terangnya berfilsafat.
Mangunsong tidak menampik ongkos politik dalam pilkada langsung terbilang tinggi atau high political cost. Tapi, katanya, itu bukan satu-satunya faktor pemicu kepala daerah korupsi. “Banyak faktor, tapi yang utama ya keserakahan itu tadi,” tukasnya.
Faktor penyebab korupsi, lanjut Mangsunsong, ada dua, yakni niat dan kesempatan.
“Keserakahan tadi termasuk pemicu niat. Sedangkan kesempatan di antaranya terdapat pada kewenangan sangat besar bahkan cenderung absolut yang dimiliki kepala daerah, bahkan kini kepala daerah seakan menjelma menjadi raja-raja kecil. Mereka tidak takut kepada presiden, apalagi kepada gubernur, akibat adanya otonomi daerah,” paparnya.
Mangunsong lalu mengutip ungkapan Lord Acton (1834-1902), “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely” (Kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan mutlak menghasilkan korupsi yang mutlak).