Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Mengenal Polder Mini, Sistem Pengelolaan Air Lahan Rawa di HPS 2018

Sistem ini dikembangkan dengan mengadopsi praktik pengelolaan air tradisional yang memang sudah populer di masyarakat.

Editor: Content Writer

Kementerian Pertanian (Kementan) memperkenalkan sistem polder mini sebagai model pengelolaan air di lahan rawa yang diterapkan pada lokasi Hari Pangan Sedunia (HPS) 2018 di Desa Jejangkit Muara, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan sebagai duplikasi dari yang dikembangkan di Ogan Ilir, Sumatera Selatan.

Sistem ini dikembangkan dengan mengadopsi praktik pengelolaan air tradisional yang memang sudah populer di masyarakat.

Sejak dulu para petani di lahan rawa sudah mengetahui bahwa kunci keberhasilan bercocok tanam, khususnya padi di lahan rawa sangat ditentukan oleh kondisi air.

Pada saat bulan purnama misalnya petani mengetahui air pasang besar, demikian juga saat bulan mati terjadi pasang tinggi. Pada saat bulan sabit atau antara hari ke 7 menuju ke 14 atau hari ke 21 menuju 29 terjadi penurunan air atau surut.

Pengalaman dari generasi ke generasi dengan pengamatan yang berulang-ulang akhirnya menghasilkan kearifan lokal (indegenous knowledge) untuk dapat memanfaatkan air untuk bercocok tanam.

Kepala Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (Balittra), Badan Litbang Pertanian (Balitbangtan), Kementan, Hendri Sosiawan mengungkapkan salah satu cara praktis untuk menyiasati keadaan tata air di lahan rawa yaitu dengan membuat saluran yang disebut handil.

Saat ini, ratusan bahkan ribuan handil sudah umum digunakan oleh masyarakat, terutama di sepanjang sungai-sungai besar seperti Barito, Mahakam, Kapuas, Kahayan, dan lainnya.

BERITA TERKAIT

"Handil adalah saluran yang dibuat menjorok masuk dari badan sungai sejauh 1-2 km dengan lebar antar 1-2 m dan kedalaman 0,5-1,0 m sehingga pada saat pasang, air bisa masuk melalui handil dan saat surut, air bisa keluar. Model ini juga sekaligus membuang hasil cucian (leached) ke sungai," kata Hendri di kantornya di Banjarbaru, Kalsel pada (24/10).

Hendri juga menerangkan, bahwa masyarakat mengembangkan sistem pengairan yang disebut tabat. Tabat merupakan hasil pengalaman selama bertahun-tahun, dengan menyusun kayu gelam atau tanah hingga berupa dam atau tameng untuk menahan air, sehingga bisa tertampung atau tersimpan di saluran sehingga tidak hilang menjadi air limpasan (run off).

Tabat atau yang juga dikenal sebagai dam limpas (dam overflow) dapat disesuaikan tingginya, sesuai dengan keinginan tinggi muka air yang diharapkan. Dari tabat inilah munculnya istilah pintu air, flapgates, stoplog atau sekat.

Hendri juga menerangkan sistem polder yang sejatinya adalah antara sistem handil, tabat, dan tanggul keliling yang kemudian dikenal dengan sistem polder.

Sistem ini diperkenalkan oleh seorang ahli pengairan berkebangsaan Belanda bernama Schophyus, bersama dengan H. Idak yang merupakan seorang Manteri Tani di Kalimantan pada masa pemerintah Belanda. Implementasi sistem polder ini pernah dilakukan di rawa lebak Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan yang dikenal dengan Polder Alabio dengan luasan 6.000 hektar, tetapi belum berhasil dengan baik.

"Sistem ini merupakan bangunan air berupa tanggul keliling yang dilengkapi dengan saluran utama masuk, keluar, dan saluran pembagi serta dilengkapi dengan pompa besar untuk memasukan air pada saat kekeringan dan mengeluarkan pada saat kelebihan," terang Hendri.

Herman Subagio yang merupakan Peneliti Balittra menyatakan bahwa sistem polder ini dikembangkan dan disempurnakan sehingga bisa diterapkan dengan baik.

Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas