MAPPI FH UI Pertanyakan Alasan Jokowi Tak Beri Amnesti pada Kasus Baiq Nuril
"Kenapa Presiden Jokowi tidak berani amnesti untuk hapuskan tindak pidana (terkait Baiq Nuril)?" kata Dio Ashar
Penulis: Theresia Felisiani
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
Laporan Wartawan Tribunnews.com Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Harian Masyarakat Pemantau Peradilan (MAPPI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Dio Ashar meminta Presiden Joko Widodo atau Jokowi tidak takut mengeluarkan amnesti pada Baiq Nuril yang divonis bersalah oleh Mahkamah Agung (MA).
"Kenapa Presiden Jokowi tidak berani amnesti untuk hapuskan tindak pidana (terkait Baiq Nuril)? Amnesti kan tidak ada batasan perkara seperti apa. Kalau presiden Jokowi berani beri grasi, harusnya lebih berani lagi beri amnesti," ujar Ketua Harian MAPPI FH UI, Dio Ashar dalam sebuah diskusi di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (24/11/2018).
Baca: Pesan Baiq Nuril kepada Perempuan-perempuan Indonesia tentang Ketidakadilan
Dio Ashar melanjutkan, pihaknya bersama dengan Koalisi Perempuan untuk Keadilan Baiq Nuril sangat mendukung presiden Jokowi segera memberikan amnesti. Terlebih secara kewenangan, presiden Jokowi memiliki itu.
"Kenapa kami ingin amnesti? Karena secara kewenangan presiden Jokowi punya dan amnesti itu bukan bentuk intervensi hukum. Justruk kalau kita mendorong adanya putusan itu dirubah dari MA atau lainnya, itu berarti intervensi hukum," kata Dio Ashar.
Diketahui kasus ini mencuat setelah adanya putusan Mahkamah Agung terhadap Baiq Nuril yang diduga melakukan pelanggaran atas Pasal 27 ayat 1 UU ITE pada 26 September 2018 lalu.
MA memutus Nuril bersalah dijatuhi vobis enam bulan penjara dan denda Rp 500 juta.
Padahal dalam putusan persidangan tingkat pertama, Baiq Nuril yang merekam panggilan telepon mantan atasannya yakni Kepala Sekolah SMAN 7 Mataran, muslim yang diduga melakukan pelecehan seksual itu dinyatakan tidak bersalah.
Baca: Curahan Hati Baiq Nuril, Korban Pelecehan yang Terancam Dibui
Kasus bermula dari Muslim yang berulang kali menelpon Baiq Nuril dengan nada yang melecehkan secara seksual. Merasa tidak nyaman, Nuril berinisiatif merekam pembicaraan tersebut sebagai bukti harkat dan martabatnya telah direndahkan Muslim.
Muslim tidak terima karena rekaman percakapannya itu menyebar. Lantas Muslim melaporkan Nuril ke Polda NTB hingga kasus Nuril maju ke persidangan dan dinyatakan bersalah melanggar Pasal 27 ayat 1 UU ITE.