Polri Sebut Ada 966 Kasus 'Body Shaming' pada 2018
Mabes Polri mengungkap adanya 966 kasus body shaming atau ejekan rupa fisik di seluruh Indonesia di tahun 2018.
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mabes Polri mengungkap adanya 966 kasus body shaming atau ejekan rupa fisik di seluruh Indonesia di tahun 2018.
Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo mengatakan ejekan rupa fisik ini termasuk dalam kategori pencemaran nama baik.
"Dari jumlah itu yang sudah diselesaikan ada 374 kasus. Kasus seperti ini memang polisi juga harus berhati-hati khususnya menyangkut penerapan UU ITE," ujar Dedi, di Mabes Polri Jalan Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (28/11/2018).
Baca: Hati-hati! Ejek Fisik Seseorang di Medsos Bisa Dipenjara 6 Tahun
Bila kasus pengejekan ini melibatkan UU ITE, ia menyebut kepolisian membutuhkan saksi ahli ITE, bahasa, dan pidana.
Untuk mencegahnya, polisi telah melakukan pendekatan edukatif, dengan memberikan literasi-literasi digital baik melalui medsos maupun media mainstream.
Baca: Gading Marten-Gisella Anastasia Termenung Soal Perasaan, 'Di Tangga Rumah Masih Ada Foto Kita'
Dedi berharap dengan itu masyarakat jadi tidak mudah mengejek orang dengan sarana media.
"Kita sering sampaikan, saring dulu sebelum sharing. Karena jejak digital yang sudah terlanjur dikirimkan itu tidak bisa dihapus. Dan jejak digital itu bisa digunakan sebagai alat bukti dalam suatu peristiwa pidana. Orang yang merasa dirugikan, dia punya hak untuk melaporkan ke pihak kepolisian," kata dia.
Di sisi lain, Polri mencoba menggunakan pendekatan yang lebih humanis dan progresif, dengan mempertemukan kedua belah pihak.
"Artinya kita menawarkan agar pelapor dan terlapor duduk bersama untuk saling koreksi," jelasnya.
Baca: UPDATE Link Pengumuman Peserta CPNS 2018 Berhak Ikut SKB, Pantau Nama Via Telegram
Jenderal bintang satu itu juga menyoroti banyaknya anak di bawah umur yang kerap melakukan kasus ejekan rupa fisik.
Ia juga mengimbau agar penegakan hukum menjadi langkah terakhir dalam kasus ini. Aspek mediasi, kata dia, harus dikedepankan.
"Kalau untuk di bawah umur kita lakukan UU perlindungan anak. Hukumannya kita menerapkan restorasi justice. Namun, mediasi yang lebih diutamakan," kata Dedi lagi.
"Penegakan hukum ini adalah upaya terakhir oleh penegakan hukum ketika upaya-upaya pencegahan lain tidak bisa dilakukan. Kita mediasi dulu intinya," tukasnya.