Migrant Care: Buruh Migran Indonesia Masih Rentan Kekerasan dan Jauh dari Keadilan
Menyambut Hari Buruh Migran Sedunia 2018, Migran CARE merefleksikan kondisi dan situasi buruh migran Indonesia.
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menyambut Hari Buruh Migran Sedunia 2018, Migran CARE merefleksikan kondisi dan situasi buruh migran Indonesia.
Direktur Eksekutif Migran CARE Wahyu Susilo mengatakan kerentanan terhadap buruh, khususnya bagi perempuan, tak otomatis berhenti pasca Pemerintah Indonesia mengesahkan UU No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.
Ia menegaskan akses keadilan masih jauh didapatkan oleh kaum buruh migran Indonesia.
Contohnya, kata dia, terlihat dari vonis ringan yang dijatuhkan pada Suyantik, PRT migran yang dianiaya secara keji oleh majikannya.
"Ataupun vonis bebas bagi pemilik PPTKIS yang memperbudak ratusan perempuan Indonesia di Industri Pengolahan Sarang Burung Walet MAXIM Malaysia memperlihatkan bahwa jalur peradilan, baik di Indonesia maupun Malaysia masih menjauhkan buruh migran dari akses keadilan," ujar Wahyu, di Hotel Ibis Cawang, Jakarta Timur, Selasa (18/12/2018).
Baca: Buruh Heran, UMP DKI Tahun 2019 Kalah dari Karawang
Eksekusi mati terhadap Zaini Misrin dan Tuti Tursilawati di Saudi Arabia juga dinilai masih memperlihatkan kondisi buruk yang dialami oleh buruh migran Indonesia di Saudi Arabia.
Kasus ini, kata dia, memperlihatkan Saudi Arabia memang benar-benar kawasan yang tidak ramah bagi buruh migran.
Menurutnya, rendahnya penghargaan terhadap hak hidup manusia, keangkuhan diplomasi Saudi Arabia yang ingkar pada tata krama hubungan antar bangsa serta kepasrahan diplomasi politik Indonesia kepada Saudi Arabia akan terus menjadi tantangan berat bagi diplomasi pembebasan hukuman mati terhadap 13 buruh migran Indonesia.
Ia melihat ada penghalang diplomasi pembebasan buruh migran Indonesia dari hukuman mati. Hal itu adalah masih adanya penerapan hukuman mati di Indonesia, sehingga terkesan ambivalen bila Indonesia menolak hukuman mati.
Wahyu pun menilai jika angin segar yang sempat terhembus oleh terbitnya Undang-Undang No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia mulai tak terasa ketika pemerintah berjalan sangat lambat untuk menjalankan mandat membuat aturan turunannya.
Dari puluhan aturan yang harus dibuat dalam kurun waktu 2 tahun sejak diundangkan, kata dia, baru satu Peraturan Menteri dihasilkan yaitu Peraturan Menteri Ketenagakerjaan RI No. 18 Tahun 2018 tentang Jaminan Sosial Pekerja Migran Indonesia.
Hingga saat ini pun, Wahyu menyebut pemerintah Indonesia juga belum mempunyai skenario masa transisi dari UU No. 39 Tahun 2004 menuju UU No. 18 Tahun 2017 mengenai pelayanan penempatan ke luar negeri.
Akibatnya, ia menyebut hal ini dimanfaatkan dengan praktik perekrutan ugal-ugalan yang membuka ruang terjadinya pidana perdagangan manusia.
Tak hanya itu, lanjutnya, kebijakan satu kanal penempatan PRT migran di Timur Tengah oleh Kemenaker RI makin memperlihatkan inkonsistensi pemerintah Indonesia soal penempatan PRT migran Indonesia ke Saudi Arabia.
"Di satu sisi masih melanjutkan penghentian permanen, namun di sisi yang lain membuka ruang penempatan Pekerja Rumah Tangga (PRT) migran melalui kebijakan satu kanal yang disebut sebagai 'uji coba penempatan'," kata dia.
"Terminologi 'uji coba penempatan' memperlakukan pekerja migran sebagai kelinci percobaan di negara yang tidak menghargai hak asasi pekerja migran," pungkasnya.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.