Jonan: Kontrak Freeport Beda dengan Kontrak Perusahaan Migas
Holding Industri Pertambangan PT Inalum (Persero) telah sah menjadi pemilik mayoritas PT Freeport Indonesia (PTFI).
Editor: Content Writer
Holding Industri Pertambangan PT Inalum (Persero) telah sah menjadi pemilik mayoritas PT Freeport Indonesia (PTFI).
Namun masih banyak beredar tuduhan jika perusahaan tersebut dapat dimiliki secara gratis seperti yang terjadi pada perusahaan minyak dan gas (migas). Apakah demikian?
Inalum pada Jumat (21/12) meningkatkan kepemilikannya di PTFI dari 9.36% menjadi 51% dengan membayar US$ 3.85 miliar atau Rp 55 triliun dan menjadi pengendali perusahaan yang memiliki tambang Grasberg di Papua dengan kekayaan emas, perunggu dan perak sebesar Rp 2,400 triliun hingga 2041.
Menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan seperti dikutip dari wawancara televisi baru-baru ini, PTFI harus dibeli karena meski Kontrak Karyanya (KK) akan berakhir tahun 2021, namun disebutkan bahwa KK dapat diperpanjang sampai dengan 2041, atau 2 x 10 tahun, dan hanya dapat dibatalkan dengan alasan masuk akal.
Ia juga menyampaikan bahwa KK tambang berbeda dengan KK migas.
“Ini beda dengan operasi hulu migas. Kalau operasi hulu migas itu jelas yang selama ini, seperti Rokan dan Mahakam. Kan ada yang ngomong, ‘oh ini kan kayak Mahakam Pak?’ Beda. Mahakam itu, semua investasinya itu cost recovery. Semua investasi yang dilakukan sepanjang disetujui oleh negara dibayar oleh negara. Berarti semua instalasi-instalasi hulu migas itu milik negara,” tutur Jonan.
“Kalau pertambangan kayak misal KK PTFI atau pertambangan lainnya, kecuali yang PKP2B generasi 1 dan 1 plus yang untuk batubara, kecuali itu asetnya semua milik negara. Kecuali diluar itu KK kebanyakan termasuk PTFI mereka investasi sendiri.”
PTFI melakukan eksplorasi dan penambangan berdasarkan KK dengan pemerintah Indonesia yang ditandatangani pada tahun 1967 di zaman Soeharto dan diperbarui melalui KK tahun 1991 di zaman Presiden yang sama dengan masa operasi hingga 2021.
Terkait dengan masa operasi tersebut, Perusahaan Amerika Serikat Freeport McMoRan (FCX), pengendali PTFI, dan pemerintah memiliki interpretasi yang berbeda atas isi pasal perpanjangan.
Pengertian FCX adalah bahwa KK akan berakhir di tahun 2021 namun mereka berhak mengajukan perpanjangan dua kali 10 tahun (hingga 2041). Pemerintah tidak akan menahan atau menunda persetujuan tersebut secara "tidak wajar".
Interpretasi yang berbeda terkait kata “tidak wajar” ini harus diselesaikan di pengadilan internasional (arbitrase).
Sementara memberhentikan operasi PTFI tahun 2021 bukanlah pilihan.
“Gimana kalau 2021 itu kita stop sudah, itu ga boleh jalan lagi, kita putuskan anda tidak cocok dan sebagainya. Bisa ga? Bisa. Satu kita harus siap menghadapi arbitrase internasional, pasti dan ini juga panjang dan biayanya besar.” kata Jonan.
Selain belum terjamin menang di arbitrase, ada kemungkinan operasinya harus berhenti.
“Ini tambang bawah tanah itu tidak bisa berhenti dalam jangka waktu yang panjang. Karena kalau jangka waktu yang panjang itu semua lorong-lorong atau gua-gua dibawah tanah dan sebagainya itu kalau menurut ahli-ahli pertambangan ya, mining engineer, ini pasti akan terganggu, dan akan sangat-sangat membutuhkan biaya yang besar untuk me-recover kembali. Ini Grasberg atau di Tembagapura atau di Timika ini salah satu operasi pertambangan bawah tanah yang terbesar di dunia. Yang paling komplekslah sekurangnya di dunia.”
Jika ambil jalur arbitrase dampaknya operasional PTFI akan dikurangi atau bahkan dihentikan. Ini akan berakibat pada runtuhnya terowongan bawah tanah sehingga biaya untuk memperbaikinya bisa lebih mahal dari harga divestasi. Tambang Grasberg adalah yang terumit di dunia.
Inalum sebelumnya menjelaskan dampak lain dari berhentinya kegiatan operasional PTFI akibat proses arbitrase adalah terganggunya ekonomi Mimika karena sekitar 90% ekonomi mereka digerakkan oleh kegiatan PTFI.
Tidak ada jaminan pula Indonesia dapat menang di arbitrase yang sidangnya dapat berlangsung bertahun-tahun, dan jika kalah bisa pemerintah diwajibkan membayar ganti rugi jauh lebih besar dari harga divestasi.
Di KK itu pun tidak ada pasal yang mengatakan jika kontrak berakhir, pemerintah bisa mendapatkan PTFI dan tambang Grasberg secara gratis. (*)