Pemerintah Seharusnya Menyediakan Air Minum Bukan Air Bersih
Seharusnya Pemerintah dan DPR RI tidak menemui banyak hambatan dalam membahas Rancangan Undang-undang Sumber Daya Air (SDA)
Editor: Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pemerintah selama ini hanya menyediakan air bersih, bukan air minum.
Akibat air bersih tidak bisa langsung diminum membuat industri AMDK berkembang di Indonesia.
Demikian pernyataan Staf Khusus Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Bidang Air dan Sumber Daya Air, Firdaus Ali, terkait pembahasan Rancangan Undang-undang Sumber Daya Air (SDA) yang kini masih berlangsung di DPR RI.
“Kalau di luar negeri, warga punya pilihan soal air. Air yang mengalir melalui kran bisa diminum, tapi juga ada pilihan air kemasan yang harganya mahal. Tapi di Indonesia kan tidak ada pilihan,” kata Firdaus Ali di Jakarta belum lama ini.
Pemerintah dan DPR mulai membahas RUU SDA sejak Juli 2018 lalu.
Sampai saat ini masih ada perdebatan antara lain perihal pengelolaan SDA oleh pihak swasta.
“Sebetulnya simple, dari pihak pemerintah sudah selesai, tapi masih ada tarik menarik, kepentingan selalu ada,” ujar Firdaus Ali.
Kehadiran sektor swasta dalam pengelolaan air, menurut Firdaus, terjadi di semua negara.
Arab Saudi pun kini tak lagi menggratiskan air bagi rakyatnya, ketika sumber minyak berkurang, kemampuan fiskal menurun.
Rakyat Arab Saudi sekarang harus membayar air, meski disubsidi oleh negara.
“Ketika ada demand terhadap AMDK, gaya hidup berubah, akhirnya AMDK menaikan harga. Kalau masuk ke restoran, air kemasan, harganya bisa 10 kali lipat dari harga di pasaran,” ujar Firdaus Ali.
Pasal krusial yang pembahasannya masih alot antara lain swasta tidak boleh mengelola SDA, swasta dibolehkan mengelola SDA tapi tidak menganggu kepentingan lain seperti irigasi dan pertanian.
Pasal lain yang pembahasannya belum tuntas yakni keharusan pihak swasta bersinergi dengan BUMD dan BUMN dalam mengelola SDA.
Menurut Firdaus, aturan dalam pasal ini baik tapi berdampak adanya tambahan biaya .
“Swasta akan terganggu kinerjanya sehingga muncul cost dan dampaknya konsumen akan bayar lebih mahal,” ujarnya.
Pasal mengenai konservasi SDA juga masih diperdebatkan. Firdaus menjelaskan, pemerintah punya keterbatasan fiscal untuk konservasi SDA.
Jika swasta dipungut 10 persen dari keuntunganya untuk konservasi, menurut Firdaus, hal itu sangat wajar.
“Itu masih kecil dibandingkan dengan opportunity yang dieksploitasi,” katanya.
Firdaus berpendapat, seharusnya Pemerintah dan DPR RI tidak menemui banyak hambatan dalam membahas Rancangan Undang-undang Sumber Daya Air (SDA), karena sudah ada Undang - undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang SDA yang bisa dijadikan acuan.
“Seharsusnya bisa selesai dalam tuga bulan,” ujarnya.