Bisakah Konsumen yang Membayar Artis AV Rp 80 Juta Dijerat Hukum?
Menurut polisi, Vanessa memasang tarif Rp80 juta sekali kencan, sementara AS mematok harga Rp25 juta.
Editor: Hasanudin Aco
Hal ini yang terjadi pada tahun 2015, dalam kasus prostitusi online berbeda, yang saat itu juga melibatkan nama sejumlah artis.
Sang muncikari, Robby Abbas, dijatuhi hukuman satu tahun empat bulan penjara setelah terbukti melanggar pasal 296 KUHP tentang kesusilaan. Berkebalikan dengannya, pekerja seks dan klien-kliennya bebas dari segala tuntutan.
Menurut Eva, hal itu karena adanya konteks pencegahan dalam KUHP. "Sebenarnya kalau muncikarinya tidak ada, pelacuran (juga) tidak ada. Gitu, kan?"
Meski demikian, sebenarnya aktor lain dalam praktik prostitusi juga bisa terjerat hukum.
Konsumen prostitusi bisa dijerat ketika ia menyewa PSK di bawah umur.
Jika itu yang terjadi, konsumen tersebut bisa dijerat Undang-undang Perlindungan Anak.
Di luar itu, pemidanaan baik konsumen maupun pekerja seks juga bisa dilakukan melalui pasal perzinahan. Itu pun jika ada aduan dari pihak yang merasa dirugikan.
"Kalau istrinya yang melacurkan diri, atau kalau suaminya yang menjadi konsumen dari kegiatan prostitusi ini," tutur Eva. "Jadi, memang ada kelemahannya di situ, kaitannya dengan delik ini adalah delik aduan."
Aktor prostitusi lain juga bisa dijerat
Bagi Eva, fenomena prostitusi online yang melibatkan artis ini harus dilihat dari berbagai konteks.
"Crimes against morality kita harus definisikan lagi, mengenai fenomena prostitusi itu, karena kita bisa dilihat dari konteks pendekatan gender, pendekatan viktimologi, termasuk bukan hanya pendekatan hukum pidana," ungkapnya.
Menurutnya, perlu dilakukan pendalaman terhadap peran aktor-aktor yang terlibat dalam praktik tersebut, termasuk para artis yang menjadi 'dagangannya'. Apakah terdapat faktor keterpaksaan atau sukarela.
"Kalau dia memperdagangkan diri memang benar-benar untuk mendapatkan keuntungan materiil, saya kira kalau kita mau menggunakan KUHP saja, bisa saja," ujar Eva.