Ketua Repnas Jokowi-Maruf : Utang untuk Pembangunan Bertambah, Tapi Kemampuan Membayar Makin Besar
Bila awal Jokowi berkuasa keseimbangan primer 0,88 persen, sekarang tinggal separuh atau 0,44 persen
Editor: Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Relawan Pengusaha Muda Nasional (Repnas) Jokowi-Maruf, Eka Sastra angkat bicara terkait padangan sebagian pihak yang menyebut utang Indonesia terus meningkat untuk membiayai pembangunan.
"Benar utang bertambah, tetapi kemampuan kita membayar semakin besar," kata Eka di Jakarta, Selasa (8/1/2019).
Ini bisa dilihat dari berdasarkan data defisit keseimbangan primer APBN yang dari tahun ketahun terus menurun.
Bila awal Jokowi berkuasa keseimbangan primer 0,88 persen, sekarang tinggal separuh atau 0,44 persen.
Dan tahun ini kita mengalami surplus keseimbangan primer dan tidak ada lagi defisit primer.
"Ini salah satu penyebab mengapa SBN kita laku keras diserap investor karena kinerja pemerintah secara finansial itu sehat sekali," katanya.
Baca: Jubir Prabowo-Sandi Sebut Utang BUMN Membengkak di era Jokowi, Perencana Keuangan Beberkan Faktanya
Ia mencontoh Turki yang gagal menerbitkan global bond untuk mengatasi lira yang jatuh, dan akhirnya terpaksa lempar handuk putih agar dapat bantuan dari IMF dan tetangganya Qatar.
Sementara penerimaan negara terus meningkat signifikan seiring meningkatnya PDB.
"Pada 2014 kontribusi perpajakan sebesar 75%, lalu 2015 naik 82,3%, 2016 naik 82,6% dan 2017 turun sedikit 80,6, dan tahun 2018 ini dapat dipastikan diatas 85 persen," katanya.
Sedangkan penerimaan negara tahun 2018 dipastikan melampaui target 100%.
Hal ini merupakan prestasi luar biasa yang patut disyukuri ditengah kondisi makro dan geopolitik yang kurang kondusif.
PDB Indonesia sebesar USD 890 miliar tahun 2014, meningkat signifikan sebesar USD 1,015 miliar tahun 2018 sehingga kita masuk kelompok negara diatas satu triliun dollar.
"Adanya trasformasi pembangunan dan kesehatan APBN yang terjaga akan makin mempeluas pembangunan infrastruktur ekonomi, harga barang kebutuhan sehari-hari tidak meningkat luar biasa," katanya.
Dikatakannya, selama 4 tahun, Indonesia mengalami tekanan ekonomi yang luar biasa akinat faktor eksternal seperti kebijakan the fed atas suku bunga yang meningkat dan kemudian perang dagang antara US dan China sehingga rupiah sempat jatuh cukup dalam.