Perlu Aturan untuk Menjamin Keberlangsungan Ketersediaan Obat Program JKN
selama ini meskipun sudah keluar pembayaran dari BPJS Kesehatan namun hanya sedikit sekali yang sampai kepada penyedia obat
Editor: Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GP Farmasi) menyampaikan, bahwa perlu adanya perbaikan dari isi Indonesia Case Base Groups (INA-CBGs) yang dinilai masih rendah.
Perlu adanya aturan agar setiap adanya pembayaran dari BPJS Kesehatan kepada fasilitas kesehatan, harus dialokasikan untuk jatah pembayaran obat minimal 25 persen.
"Sebaiknya memang harus ada update nilai INA-CBGs yang saat ini masih rendah, dan dan aturan alokasi pembayaran jatah obat minimal 25 persen. Saya juga berharap agar co-payment diperbolehkan dan tidak ditegur," ujar Ketua Bidang Industri GP Farmasi, Roy Lembong di Jakarta belum lama ini.
Ini berbicara dalam salah satu sesi paparan seminar ‘Pembiayaan yang Berkelanjutan untuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Menuju Pelayanan Kesehatan Semesta di Indonesia’ yang diselenggarakan Center for Strategic and International Studies (CSIS), di gedung Pakarti Center, Jakarta, Kamis (17/01) sore kemarin.
Menurutnya, hal ini sangat penting guna mempertahankan keberlangsungan JKN, karena apapun penyakitnya, harus diobati dan pasien harus disediakan obat.
Ia menambahkan bahwa saat ini GP Farmasi telah men-supply 90 persen kebutuhan obat dalam negeri, dimana 52 persen diantaranya adalah obat generik berkualitas.
Baca: Kisah Penjual Jamu yang Masih Belia Lulusan D3 Farmasi Asal Wonogiri, Sering Kena Goda Sopir Truk
Kualitas obat yang diproduksi GP Farmasi memiliki standa dan kualitas yang tinggi, karena GP Farmasi melakukan beberapa mekanisme produksi yang cukup ketat.
Hery Sutanto, Ketua Bidang Distribusi GP Farmasi mengatakan, selama ini meskipun sudah keluar pembayaran dari BPJS Kesehatan namun hanya sedikit sekali yang sampai kepada penyedia obat.
“Memang uangnya sudah keluar dari pemerintah, tetapi sampai ke kami hanya menetes saja, mungkin hanya enam persen. Padahal sepanjang Agustus-Desember masih terus ada belanja dari Rumah Sakit, tidak mungkin kita stop obat, karena pasti makin ramai nanti. Kami hanya minta solusi sebaiknya ada alokasi 25 persen,” jelasnya.
Pedagang Besar Farmasi (PBF) memiliki tantangan yang cukup besar dalam melayani JKN yaitu turunnya profitabilitas perusahaan distribusi dari tahun ke tahun.
"Turunnya kenapa? Karena bisnis JKN ini sangat high cost, ini dari segi bisnis. Jadi kalau lebih milih, kami milih bisnis secara reguler dengan swasta. Bayar lebih cepat tidak butuh waktu, begitu kami jual ke RS pemerintah cost kami berlipat-lipat," ungkap Hery.
Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes Engko Sosialine menyebut, saat ini pihaknya tengah fokus pada tiga hal. yaitu rencana kebutuhan obat (RKO), menjamin ketersediaan obat dan pengadaan obat.
Dia menilai perihal RKO perlu ada perbaikan akurasi karena RKO yang diserahkan kadang tidak sesuai dan akurat, misalnya pada tahun 2014 kurang 20 persen dan tahun 2018 malah lebih 20 persen.
"Meningkatnya kan cukup tajam, dan data yang bisa digunakan tentang peningkatan sudah dihubungkan secara elektronik dan akurasinya bagus," kata dia.
Selain itu GP Farmasi juga meminta agar pembebanan biaya kesehatan dialokasikan lebih proporsional baik di antara negara, swasta, dan masyarakat seperti yang dilakukan negara-negara lainnya.
Menurutnya, upaya promotif preventif dalam bentuk pembaharan peraturan yang ada perlu segera dilakukan untuk mengurangi beban kuratif JKN.
Sebelumnya Wakil Presiden Jusuf Kalla pada sambutan pembuka acara yang sama, juga mendorong BPJS Kesehatan untuk melakukan program promotif preventif kepada masyarakat terkait pentingnya menjaga kesehatan seperti memulai kebiasaan olahraga.
Menurut Kalla, masyarakat kini sudah banyak yang berobat ke rumah sakit dan pertumbuhan penduduk yang tinggi juga kian memberatkan pemerintah jika tidak ada upaya preventif terhadap kesehatan. "Semuanya menambah beban yang besar karena jumlah penduduk kan kian tinggi, kunjugan ke rumah sakit juga sekarang tinggi," ucapnya.
Acara diskusi ini dihadiri seluruh pemangku kepentingan dalam bidang JKN, seperti akademisi, kementerian kesehatan, BPJS Kesehatan, Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), pemerintah terkait dan kalangan industri.