LBH Jakarta: Tidak Dilarang, Golput Hanya Bentuk Ekspresi Politik
Menentukan sikap untuk tidak memilih atau biasa disebut golput memang masih menjadi perdebatan.
Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menentukan sikap untuk tidak memilih atau biasa disebut golput memang masih menjadi perdebatan.
Terlebih saat momen Pemilu 2019 sudah tinggal menghitung hari.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta pun secara tegas mengatakan bahwa golput bukan merupakan hal yang dilarang karena tidak melanggar hukum dan bukan tindak pidana.
Seperti yang disampaikan Direktur LBH Jakarta Arif Maulana dalam konferensi pers bertajuk 'Golput Itu Hak dan Bukan Tindak Pidana', yang menyatakan golput hanya perwujudan dari ekspresi politik.
"Golput bukan tujuan, tapi ekspresi politik untuk memprotes keras, mengkoreksi sistem politik pemilu hari ini," ujar Arif, saat ditemui di Kantor YLBHI, Jakarta Pusat, Rabu (23/1/2019).
Baca: Golput Tidak Termasuk dalam 12 Larangan Mengekspresikan Hak Politik
Menurutnya, hal itu tertuang dalam Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu), yakni tidak melarang seseorang untuk golput.
Menurutnya, seharusnya langkah seseorang untuk golput tidak boleh diprotes, karena itu merupakan hak setiap orang.
Tentunya golput bisa terjadi jika tidak ada kecocokan antara apa yang mereka harapkan dengan visi misi para pasangan Capres-Cawapres.
Arif kemudian menyebut penyelesaian kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang menjadi sorotan.
"Kenapa kita protes? Misalkan ternyata nggak connect (terhubung) antara HAM yang mesti diselesaikan dengan visi misi yang tidak memberikan perhatian terhadap penegakan HAM," jelas Arif.
Selain itu ia juga menegaskan, partai politik (parpol) turut memegang peranan penting dalam sistem demokrasi.
Sehingga parpol yang ikut dalam ajang demokrasi Pemilu sudah sewajarnya menjadi target protes dirinya dan para pencari keadilan HAM lainnya.
"Salah satu yang harus muncul sebagai target protes kita adalah partai politik, dalam sistem demokrasi kita, partai politik memegang peranan," kata Arif.
Arif kembali menekankan bahwa saat ini parpol dianggap hanya sebagai simbol yang mewakili 'si pemilik'.
Kepemilikan parpol tanah air yang cenderung didominasi oleh para penanam modal, ia nilai harus dikoreksi agar peran parpol bisa efektif sebagaimana mestinya.
"Hari ini partai mewakili siapa pemilik partai, siapa penanam modal, ini yang ke depan akan kita koreksi, Bagimana parpol tidak menjalankan peranannya," tegas Arif.
Lebih lanjut ia menyampaikan secara tegas, parpol harus bisa menjaga marwah dan prinsip demokrasi.
"Karena parpol yang tidak menjaga marwah dan prinsip demokrasi yang diperjuangkan adalah bukan kemaslahatan," pungkas Arif.