Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas (IKAL) PPSA XXI Dukung Askari Jadi Hakim Konstitusi
Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas (IKAL) PPSA XXI mendukung dan berharap Askari Razak dapat menjadi salah satu dari sembilan hakim konstitusi
Penulis: FX Ismanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas (IKAL) PPSA XXI mendukung dan berharap Askari Razak dapat menjadi salah satu dari sembilan hakim konstitusi. Askari Razak yang sebelumnya adalah pimpinan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) diharapkan dapat lolos fit & proper test di DPR yang diadakan pada pekan ini. IKAL PPSA XXI menilai Askari Razak dengan berbagai pengalamannya pantas menjadi hakim konstitusi yang berdedikasi dan berintegras.
Demikian ditegaskan oleh Ketua IKAL PPSA XXI, Komjen Pol (Pur) Arif Wachjunadi dalam keterangannya kepada media, Selasa (29/01/2019). Ia juga menegaskan, IKAL XXI akan mendukung setiap anggotanya yang dengan tulus dan iklas ingin mengabadikan diri kepada negara dan bangsa.
Menurut Arif Wachjunadi, yang juga mantan Sestama Lemhannas RI, Lemhannas adalah salah satu lembaga pendidikan tertinggi negara yang sejak jaman Presiden Sukarno menjadi lembaga pencipta pemipin nasional strategis. Dari sudut ketahanan nasional, mereka yang lulus dari pendidikan Lemhannas diyakini mampu melihat permasalahan negara dan bangsa dalam acuan ketahanan nasional.
“PPSA itu adalah pendidikan pemimpin nasional strategis setara bintang dua yang pesertanya adalah para perwira tinggi dan sipil terpilih. Di angkatan kami, semua bintang ada di situ dan kami merupakan keluarga besar yang akan saling membantu dalam memecahkan masalah bangsa dan negara terkait dengan ketahanan nasional. Askari Razak adalah lulusan PPSA XXI yang kami nilai pantas untuk menduduki posisi Hakim Konstitusi,” jelas Arif Wachjunadi.
Arif mengurai lebih lanjut, sebelum melamar menjadi calon hakim konstitusi, Askari Razak yang berasal dari Sulawesi Selatan ini adalah salah satu pimpinan LPSK. Ia juga dosen tetap pada Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Sulawesi Selatan dan merupakan lulusan terbaik UMI pada tahun 1990. Azkari juga pernah menjabat sebagai Ketua DPD Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara dan Sulut dari APHAMK (Assosiasi Pengajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi), sekarang masih menjabat sebagai Wakil Sekjen ADHI (Assosiasi Doktor Hukum Indonesia). Masih menurut Arif, di IKAL PPSA XXI, pria berdomisili di Makasar ini menjabat sebagai Kadiv Hubungan Daerah.
“Dalam posisinya sebagai anggota IKAL PPSA XXI, Askari memiliki jaringan yang cukup kuat dalam melaksanakan pengabdiannya untuk negara dan bangsa. Anggota IKAL PPSA XXI berada di seluruh Indonesia dengan berbagai jabatan strategis. Sebagai contoh, Kasdam di beberapa Kodam Indonesia berasal dari angkatan kami, Pangdam Jaya, Pangdam Mulawarman, Kadiv Propam, Danjen Kopassus, Wagub Lemhannas, Ketua Umum Kadin Provinsi Babel, beberapa guru besar di berbagai perguruan tinggi, pejabat di KPK, beberapa Wakapolda, Gubernur AAU dan AAL dll. Dalam konteks inilah, karena kualifikasi, kompetensi dan jam terbangnya, Askari kita dukung menjadi salah satu hakim konstitusi,” ungkap mantan Ketua Senat PPSA XXI ini.
Mahkaman Konstitusi adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Agung. Seleksi pencalonan kali ini untuk memenuhi dua posisi kosong dengan 11 calon pelamar.
Berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Mahkamah Konstitusi mengadili perkara-perkara tertentu yang menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan UUD 1945.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji undang-undang terhadap UUD 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; memutus pembubaran partai politik; dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain itu, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) sampai dengan (5) dan Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 yang ditegaskan lagi oleh Pasal 10 ayat (2) UU 24/2003, kewajiban Mahkamah Konstitusi adalah memberikan keputusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan tercela, atau tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.