Indonesia Sepakati Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik dengan Swiss
Perjanjian tersebut berisi antara lain kerjasama terkait pelacakan, pembekuan, penyitaan, dan perampasan aset hasil tindak kejahatan
Penulis: Gita Irawan
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) RI, Yasonna Laoly menandatangani Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana/Mutual Legal Assistance (MLA) antara Republik Indonesia dengan Konfederasi Swiss di Bernerhof Bern pada Senin (4/2/2019).
Perjanjian tersebut berisi antara lain kerjasama terkait pelacakan, pembekuan, penyitaan, dan perampasan aset hasil tindak kejahatan.
Baca: Yasonna: Kalau Orang Tidak Dikasih Remisi, Enggak Muat Penjara
"Perjanjian ini terdiri dari 39 pasal, yang antara lain mengatur bantuan hukum mengenai pelacakan, pembekuan, penyitaan hingga perampasan aset hasil tindak kejahatan. Ruang lingkup bantuan timbal balik pidana yang luas ini merupakan salah satu bagian penting dalam rangka mendukung proses hukum pidana di negara peminta," kata Yasonna Laoly dalam keterangan tertulisnya yang diterima Tribunnews.com pada Selasa (5/2/2019).
Yasonna Laoly menilai, perjanjian MLA RI-Swiss merupakan capaian kerjasama bantuan timbal balik pidana yang luar biasa, dan menjadi sejarah keberhasilan diplomasi yang sangat penting, mengingat Swiss merupakan financial center terbesar di Eropa.
Selain itu menurutnya, penandatanganan Perjanjian MLA ini sejalan dengan program Nawacita, dan arahan Presiden Jokowi pada peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia tahun 2018 ketika Jokowi menekankan pentingnya perjanjian ini sebagai platform kerjasama hukum, khususnya dalam upaya pemerintah melakukan pemberantasan korupsi dan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi (asset recovery).
"Sejalan dengan itu, Perjanjian MLA ini dapat digunakan untuk memerangi kejahatan di bidang perpajakan (tax fraud) sebagai upaya Pemerintah Indonesia untuk memastikan warga negara atau badan hukum Indonesia mematuhi peraturan perpajakan Indonesia dan tidak melalukan kejahatan penggelapan pajak atau kejahatan perpajakan lainnya," kata Yasonna Laoly.
Yasonna Laoly mengatakan, atas usulan Indonesia, perjanjian yang ditandatangani tersebut menganut prinsip retroaktif.
Yasonna Laoly menjelaskan, prinsip tersebut memungkinkan untuk menjangkau tindak pidana yang telah dilakukan sebelum berlakunya perjanjian sepanjang putusan pengadilannya belum dilaksanakan.
"Hal ini sangat penting guna menjangkau kejahatan yang dilakukan sebelum perjanjian ini," kata Yasonna Laoly.
Yasonna Laoly menjelaskan, perjanjian MLA RI - Swiss terwujud melalui dua kali putaran.
Pertama dilakukan di Bali pada tahun 2015.
Kedua. pada tahun 2017 di Bern, Swiss untuk menyelesaikan pembahasan pasal-pasal yang belum disepakati di perundingan pertama.
Kedua perundingan tersebut dipimpin oleh Direktur Otoritas Pusat dan Hukum Internasional, Cahyo Rahadian Muzhar yang kini menjabat sebagai Dirjen AHU Kemenkumham.
"Saya berharap dukungan penuh dari Dewan Perwakilan Rakyat nantinya segera meratifikasi agar perjanjian ini dapat langsung dimanfaatkan oleh para penegak hukum, dan instansi terkait lainnya," kata Yasonna Laoly.
Atas nama pemerintah Indonesia, Yasonna Laoly menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Pemerintah Swiss yang telah membantu dan memudahkan serta menjadikan Perjanjian MLA ini terwujud.
Baca: Soal Terpidana Pembunuh Wartawan Radar Bali, Yasonna: Bukan Grasi Tapi Remisi
"Terima kasih juga atas dukungan penuh dari Dubes Muliaman Hadad dan Dubes Linggawaty Hakim serta K/L, khususnya kepada para pejabat dari Otoritas Pusat Kemenkumham, Kemenlu, Kemenkeu, Kejagung, Kepolisian, KPK, dan PPATK yang telah bersama-sama mewujudkan dan menyaksikan penanda tanganan Perjanjian MLA RI-Swiss ini," kata Yasonna.
Sebelumnya, pemerintah juga telah menandatangani perjanjian MLA dengan negara Asean, Australia, Hong Kong, RRC, Korsel, India, Vietnam, UEA, dan Iran.