DPR Harus Jauhkan Pertimbangan Politik Saat Pilih Hakim MK
Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan MK melihat setidaknya ada tiga hal yang perlu diperhatikan oleh DPR.
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Saat ini, DPR kembali membuka seleksi hakim konstitusi yang berasal dari lembaganya. Selain dari Presiden dan MA.
Seleksi kali ini hanya diikuti oleh 11 calon Hakim konstitusi. Seleksi wawancara kan dilaksanakan pada 6-7 Februari 2019.
Seleksi juga akan dilakukan oleh dua orang hakim konstitusi aktif, yang akan memperpanjang masa jabatannya untuk kedua kalinya.
Pertanyaannya, apakah saja kebutuhan MK untuk masa periode 2019-2024 yang harus diperhatikan oleh DPR?
Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan MK melihat setidaknya ada tiga hal yang perlu diperhatikan oleh DPR.
Yakni, pertama, MK akan berhadapan dengan tahun politik. Kedua, tren pengujian UU di MK.
Ketiga, kepatuhan terhadap putusan MK yang berarti kepatuhan terhadap konstitusi. Dan terakhir permasalahan perlindungan hak asasi manusia.
Terkait yang pertama, menurut anggota Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan MK, Julius Ibrani, DPR perlu memperhatikan jejak rekam dan independensi dari calon hakim konstitusi.
Baca: Jaksa Tuntut Eni Saragih 8 Tahun Penjara
"Meskipun DPR adalah lembaga politik, seharusnya dalam melakukan seleksi, DPR harus menjauhkan pertimbangan politik sebagai variabel utama dalam menentukan pilihan hakim konstitusi yang terpilih," ujar Koordinator Program Persatuan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Julius Ibrani ini kepada Tribunnews.com, Rabu (6/2/2019).
Lebih lanjut terkait tren pengujian undang-undang di MK. Berkaca pada tren pengujian UU ke MK tahun 2018, maka pengujian paling banyak berhubungan dengan undang-undang yang berkaitan dengan bidang politik.
Tercatat pengujian UU Pemilu dilakukan sebanyak 28 kali, UU MD3 sebanyak 12 kali, UU Ketenagakerjaan 7 kali, KUHAP 4 kali dan selebihnya 2 atau sekali saja.
Ketiga, ada permasalahan terkait tingkat kepatuhan soal putusan MK.
Meskipun MK sudah memutuskan sejumlah regulasi melanggar konstitusi, namun dalam prakteknya ada permasalahan soal penerapannya.
Misalnya, ia mencontohkan, masih dimasukannya pengaturan penghinaan dalam RKUHP dan sejumlah putusan MK yang tidak ditaati oleh MA.
"Pada titik ini, DPR perlu mencari jalan keluar konstitusional untuk memastikan konstitusionalitas sejumlah kebuntuan konstitusi tersebut," jelas Julius Ibrani.
Terakhir, ada tren penurunan perlindungan hak asasi manusia.
Data itu dapat dilihat dari data Indeks Negara Hukum Indonesian Legal Roundtable pada tahun 2012-2017, yang menunjukkan ada persoalan penurunan perlindungan hak asasi manusia (dari 5,71 pada tahun 2012 menuju 4,31 pada tahun 2017).
"Meskipun ada tren peningkatan dari tahun 2016 sampai dengan 2017, tetap saja secara umum nilai hak asasi manusia mengalami penurunan yang signifikan dari tahun 2012," paparnya.
Diketahui, sebanyak 11 calon hakim Konstitusi yang mengikuti uji kepatutan dan kelayakan. Sebelas nama tersebut adalah Hestu Armiwulan Sochmawardiah, Aidul Fitriciads Azhari, Bahrul Ilmi Yakup, M Galang Asmara, Wahiduddin Adams, Refly Harun, Aswanto, Ichsan Anwary, Askari Razak, Umbu Rauta, dan Sugianto.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.